Pendakian bukan soal materi, ini soal dengan tekad apa kita mendakinya
Hai…
Gimana perasaan kamu? Tahun lalu kita berjumpa. Ada banyak pertanyaan darimu tentang rasa kopi coklat hangat yang kamu seduhkan pagi itu untukku. Ya, sungguh nikmat! Sungguh nikmat sampai aku begitu kangen rasa itu lagi. Di sini dingin! Angin bertiup kencang dan suhu menunjukkan 48oF. Kabut ada dimana-mana. Asalkan kamu tahu, di sini setiap pemandangan yang ingin kita lihat bersama itu mulai terlihat. Aku sendiri nggak tahu harus gimana lagi mengungkapkannya. Ini sangat-sangat menakjubkan!
Well, memang agak capek mendakinya. Namun mengingat masa liburan jauh lebih singkat dibanding masa kerja, perjalanan seperti ini jadi tetap terasa menyenangkan. Barangkali tidak ada kesempatan lain nantinya. Aku belajar menikmati waktu seperti yang kamu ajarkan. Untung aku pakai jaket dan syal dari kamu. Wah, angin dingin itu datang lagi!
Fuuuhhh…
Dan, aku sendirian!
Photo by Sebastian Pichler on Unsplash
Maaf, aku terpaksa ambil gambar dari sini. Semoga kamu bisa dengar ini semua ketika sudah kuunggah saat ada sinyal. Kelihatannya dengan cara ini kita bisa bicara dari hati ke hati. Kesempatan memang tidak selalu datang seperti dulu, saat kita sanggup menyesap kopi bersama – saat kamu tunjukin ke aku betapa sebuah gunung yang besar bahkan bisa ditaklukan ketika kita bersama.
Apa yang kamu ajarin itu membuat aku jadi lebih dewasa. Pendakian bukan soal materi, ini soal dengan tekad apa kita mendakinya. Sebenarnya, aku juga nggak mau naik ke puncak kalau nggak sama kamu.
Mungkin kamu ingat, hari itu kamu tanya ke aku kenapa aku nggak suka sayur pahit. Well, ya itu karena pahit! Tapi kamu bilang, ketimbang pencernaan aku bermasalah seiring bertambahnya umur, ya sudah aku makan. Kadang dalam suatu pengalaman yang nggak enak, selalu ada nikmat dan hikmat yang bisa kita dapatkan.
Aku juga tanya ke kamu, “Kenapa kamu suka kopi?” Kamu selalu jawab aku, karena aku suka kopi lebih dulu sehingga kamu belajar untuk menyukainya juga. “Supaya kalau pagiku suram, selalu ada semesta alkaloid yang mendukungku maju!”
Photo by Clem Onojeghuo on Unsplash
Itu lucu banget, aku nggak pernah menyangka kalau ilmu kimia yang kamu pelajari bisa membuat aku tersenyum. Apa kamu ingat, kamu pernah bilang kasih orang tua pada anaknya itu kaya ikatan ion. Walau yang satu hanya bisa memberi dan yang lain hanya bisa menerima, tapi ikatan itu tetap terjadi. Sementara kalau aku menyukai seseorang, aku seperti membentuk ikatan kovalen – kami saling memberi satu sama lain dan menjalaninya bersama-sama. Gila! Aku nggak bisa berhenti ketawa.
Kamu selalu suka warna panas, itu yang kadang bikin aku bingung. Sementara di sini terlihat warna dingin di mana pun. Hijau, biru, dan kabut. Seandainya sekarang tak berangin, mungkin aku bisa membantumu melukiskan senyuman indah mentari dan beberapa tanaman hijau yang masih dapat tumbuh. Warna-warna hangat itulah yang selalu membuatmu tampak tetap menikmati semuanya, seraya berusaha memperjuangkan banyak hal dalam hidup.
Akhir-akhir ini selalu terpikir olehku, bagaimana kamu bisa berjalan bersama Rendra, sahabatmu itu? Memang, aku tidak pernah melarang kamu pergi dengan siapa pun, tapi bagaimana kalau akhirnya kamu malah pergi dengan orang yang aku kenal juga? Buatku, itu telak.
Jadi ternyata benar. Hal ini terasa seperti sebotol alkohol, yang awalnya manis tapi memberi efek jangka panjang di akhir. Kadang efek itu menyakitkan dan membuat perasaan nggak lagi nyaman.
Caption: Photo by Andrian Valeanu on Unsplash
Oh iya, ini lukisanku buat kamu. Lihat goresannya! Aku ikuti saran kamu untuk menggoresnya dengan lebih berperasaan. Dulu aku suka warna-warna pastel, tapi sekarang bayangan itu jadi lebih gelap. Nggak tahu kenapa, mungkin aku juga ingin melukiskan rasanya ditinggal kamu.
Wow! Kenapa juga sampai sekarang aku merasa Tuhan nggak adil buat hidup aku. Benar-benar ngga adil tahu nggak?!
Kata kamu Ayub juga merasakan hal yang sama kaya aku, yakni waktu Tuhan yang dia kasihi seolah ninggalin dia. Kamu lalu cerita kalau dia malah berkata, “Aku tahu, bahwa Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Nya yang gagal.”
Ya ampun! Tapi kenapa aku sekarang merasa semua yang aku miliki dirampok dengan sadis dan nggak akan dikembalikan?!
Huufffttt…
Photo by Lacey Raper on Unsplash
Kalau kamu tanya kenapa ada nama aku dan nama Diviana di lukisan yang kubawa ini, aku cuma ingin kamu tahu bahwa dia sudah ikut mewarnai hari-hari aku sekarang. Aku berusaha keras mencintai, walau luka kadang selalu berakhir dengan luka.
Aku tidak ingin terlalu lama menelan sesuatu yang manis lalu menjadi pahit berulang kali. Manis lagi lalu pahit lagi, dan terus begitu. Kata kamu, jangan terlalu banyak makan yang manis-manis karena nanti bisa diabetes kan?
Sebentar lagi, aku sampai di tempat yang aku janjikan ke kamu. Di sini, aku akan mulai melukis sesuatu yang kamu minta aku lukis. Aku akan melukisnya dengan warna kesukaanku, sebuah taman dengan pohon di tengahnya. Kamu lihat ini, cakrawala dengan warna biru muda cerah, pohon raksasa yang rimbun dengan buah berwarna merah yang menggoda, taman yang hijau segar, lalu latar gunung kelabu dimana aku berdiri sekarang. Berdiri jauh sekali!
Begitulah aku di gunung ini memandangimu, jauh.
Photo by Niko E. on Unsplash
Jadi sekarang, aku akan melangkah lebih jauh sambil mengucapkan apa yang kamu minta untuk aku ucapkan sepanjang perjalanan – untuk terakhir kalinya.
“Jadi akhirnya,”
“semua yang benar,” kamu lihat aku melangkah?
“Semua yang mulia…”
“Semua yang adil…”
“Semua yang suci…”
“Semua yang manis,” aduh, aduh!
“Semua yang sedap didengar,” ya Tuhan! Ada apa dengan air mata ini?
“Semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,”
“pikirkanlah semuanya itu. “
Astaga, air mataku nggak bisa berhenti. Maaf. Bagaimana aku bisa memikirkan itu semua kalau aku masih ingat kamu? Pancaran matamu, bagiku adalah pancaran mata kasih Tuhan. Sekarang jawab aku adinda, GIMANA AKU MAU MIKIRIN ITU SEMUA?!
Gimana? Gimana caranya tanpa kamu?!
Sekarang, aku cuma mau berusaha jalanin apa yang udah kita mulai. Doain aku sama Viana ya, supaya punya ikatan kovalen! Hehe. Mungkin tahun depan kami akan naik ke pelaminan, kalau Tuhan berkenan. Sementara itu, biar kamu dan kanker pankreas kamu itu berdamai. Semoga rumah Tuhan seindah yang kamu ceritakan ke aku, juga semoga Tuhan punya rumah yang deket sama kamu buat aku di sana nanti.
Selamat jalan ya Iryana,
Dari kakakmu yang selalu mengasihimu, Iryanto.
Save as, “VLOG DARI 1765 MDPL”.
Shut down.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: