We are all slaves to something (Adam, 2012)
Menjadi seorang dengan kebebasan: Menjalani sebuah impian yang indah, atau jatuh di lubang tanpa dasar?
Sebagai seorang dewasa yang terus ingin menghidupkan kemanusiaannya, kini saya menyadari banyak hal yang tak lazim di dunia ini, termasuk di dalamnya konsep kemerdekaan. Apakah kita sudah siap untuk menghadirkan kemerdekaan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada semua manusia yang ada? Keraguan memenuhi kepala saya ketika pertanyaan ini muncul dengan begitu banyaknya ironi dalam hidup ini. Masih banyak orang yang telah berpeluh dan menuangkan darahnya namun nasib naas terus menghantuinya hingga ia sehidup semati dengan kemalangan. Di sisi lain, banyak orang juga hidup dalam kenyamanannya dan kesenangan namun gagal dalam menjiwai kehidupannya dan terjebak dalam nikmat yang dangkal. Berlabuh dari satu candu ke candu lain, atau dari satu ego ke ego lain. Apakah selama ini kita salah menghayati kemerdekaan kita?
Nampaknya, kemerdekaan adalah konsep yang amat sulit diterima bagi umat manusia yang sudah berusia ribuan tahun. Proses kemajuan hidup begitu cepat hingga manusia dapat mencapai titik puncak kemakmurannya sebagai sebuah populasi yang mendominasi dunia, namun nampaknya permasalahan baru kini muncul. Sebuah simalakama bahwa kemerdekaan yang kini bisa dengan mudah didapatkan siapa saja, terlihat sebagai barang receh dan tidak menumbuhkannya agar bisa terus dibagikan kepada orang lain. Semangat para leluhur dalam memerdekakan diri dan bangsanya yang begitu membara agar generasi mendatang dapat menentukan nasib hidupnya sendiri justru dipandang sebelah mata dan tak lagi berniIai.
Ketidaktahuan manusia akan apa yang ia lakukan dengan kebebasan yang dimilikinya lah yang membuatnya justru terperosok dalam lubang eksistensial dan nihilisme hingga mereka lupa bahwa hakikatnya manusia merupakan bagian dari kelompok yang besar dan saling tolong-menolong seharusnya merupakan nafas kita. Kita dibuai oleh kata-kata manis nan kosong akan hidup yang penuh dengan kebahagiaan dengan kebebasan yang seluas-luasnya sementara kebebasan tak serta merta tak memiliki tanggung jawab dan konsekuensi.
Tidak heran bahwa manusia menciptakan dongeng kuno seperti Prometheus, yang dalam mitologi Yunani Kuno dikisahkan sebagai dewa pencipta insan dan pemberi api. Prometheus adalah dewa yang memerdekakan manusia dan melepas mereka dari belenggu keterikatan dengan para dewa ketika manusia diciptakan untuk menjadi lemah dan rentan terhadap berbagai elemen alam. Prometheus hadir sebagai pembebas dengan mencuri api Olympus dan membagikannya kepada desa terdekat sehingga manusia tidak perlu lagi ketakutan ketika hujan atau malam tiba. Inilah yang membuat Prometheus mendapat hukuman dari para dewa digantung di pegunungan dan harus hidup menjadi makanan burung selamanya. Naasnya lagi, pemberian Prometheus ini memampukan manusia untuk menciptakan senjata dan menyerang satu dengan yang lain. Jika kamu menjadi sang Prometheus, apakah kamu akan menyesal akan hal tersebut?
Semua ini adalah sebuah keniscayaan dan kesia-siaan akan kemerdekaan karena ia tak selalu berujung pada kebaikan, malah bisa menjadi sumber keburukan dan kejahatan baru. Kebebasan adalah konsep yang menakutkan dan sering kali saya berpikir, apa iya manusia adalah makhluk yang bisa dipercaya dengan kebebasannya? Malah, sepertinya kebebasan hanyalah salah satu jalan penuh masalah yang berakhir pada kekecewaan. Ia membebaskan kita untuk menentukan pilihan, namun konsekuensi tetap menunggu dari setiap pilihan yang dibuat.
Ketika saya tenggelam dalam pikiran ini, mungkin satu hal yang menjadi menarik dalam perbincangan di kepala: Makna akan kemerdekaan adalah sebesar atau sesempit sudut pandang bagaimana kita melihat hidup dan tanggung jawab. Perjalanan untuk memaknai kemerdekaan adalah tentang bagaimana kita bisa terus menilai kembali dan berani mempertanyakan bagaimana kita menghayati kemerdekaan ini : Apakah akhirnya kita benar-benar merdeka? Apakah kita benar-benar menjalani kemanusiaan kita?
Roma 6:18 (TB) menyatakan, "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran" atau bahasa anak "Jaksel"-nya, "Healed people, heal people". Di sinilah saya menyadari kemerdekaan seutuhnya. Ini bukan tentang melakukan segala sesuatu seperti yang kita inginkan semata, melainkan bagaimana terus menjalani kemerdekaan kita, yakni menjadi manusia yang membawa makna/nilai bagi manusia lainnya. Itulah sebabnya pesan Paulus dari Roma bukan sekadar pengingat untuk menjalani hidup yang baik, tetapi lebih dalam dari itu: Paulus mengingatkan kita, para pengikut Kristus, akan hakikat kita sebagai manusia yang sudah merdeka dan dipanggil bermisi memerdekakan orang lain.
Itulah mengapa penemuan api akhirnya membuat manusia menjadi berani menghadapi kegelapan, binatang buas. dan kedinginan. Penemuan yang memerdekakan dan membebaskan. Prometheus adalah simbol persona kuat, merdeka, dan bebas, yang tak hanya mengandalkan kecerdasannya untuk dirinya semata, namun yang menghadirkan sejuta potensi di dalam hati manusia. Hidup ini adalah perjalanan untuk mempelajari itu. Tentang bagaimana terus menghayati kemerdekaan dan pada akhirnya menjadi insan seutuhnya : insan yang saling tolong menolong dengan insan lain dan insan yang menghadirkan kemerdekaan seluas-luasnya kepada insan lainnya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: