The only thing worse than being blind is having sight, but no vision. —Helen Keller
Bayangkan sebuah dunia di mana kita tak dapat melihat.
Sebuah dunia di mana kebutaan merupakan suatu hal yang biasa, dan hanya sebagian kecil dari kita yang terpilih untuk diberikan anugerah berupa penglihatan.
Cukup sulit dibayangkan, bukan? Ya, sebagai manusia, kita sangat menggantungkan diri pada penglihatan kita. Faktanya, sekitar 80% informasi yang kita terima dari dunia luar berasal dari indra penglihat. Kalau kemampuan itu tiba-tiba hilang dan kita dipaksa untuk ‘tetap berfungsi’ dengan 20% sumber informasi sisanya, tentu merupakan suatu hal yang sangat asing dan menakutkan.
Bayangkan kalau kita terlahir tanpa mata.
Kamu terbangun dari tidur dan udara pagi yang segar segera menyapa indra penciummu, tetapi kegelapan tak juga hilang. Dunia masih seterang—atau segelap—biasanya. Kamu merentangkan tanganmu ke depan, meraba-raba tumpukan pakaian yang ada di dalam lemarimu, memilih salah satunya untuk dipakai hari ini, lalu melepas kancingnya satu demi satu sebelum kemudian memasangkannya ke tubuhmu dengan penuh perjuangan.
Kemudian pergilah kamu ke dapur, membuka kulkas dan mencari-cari, di manakah telur yang baru kamu beli diletakkan; beralih ke lemari di atas kompor untuk mencari sebungkus kopi; bergeser ke lemari di sebelahnya untuk mencari wajan; dan akhirnya beranjak ke depan kompor dan memutar kenop gas ke arah kiri, lalu merasakan kelegaan ketika kehangatan mulai terasa dan aroma gas mulai menggelitik indra penciummu.
Sulit dibayangkan, ya?
Photo by JC Gellidon on Unsplash
Sadar atau tidak, indra penglihat telah kita jadikan satu-satunya pegangan sampai-sampai kita lupa untuk mengoptimalkan penggunaan indra-indra lain yang juga Tuhan anugerahkan. Kita menjadi sangat terobsesi untuk mempercantik diri sendiri: melaparkan diri untuk mendapatkan validasi dari dunia luar, menghabiskan uang demi hal-hal yang sebenarnya kita nggak butuh-butuh amat demi bisa berbaur dengan orang-orang yang bahkan nggak kita sukai; semua hal yang kita lakukan demi menyesakkan diri ke dalam standar yang menurut masyarakat luas adalah cantik dan rupawan.
Namun, kalau kita ingat-ingat lagi, sebenarnya: ...
kapankah terakhir kali kita mengundang seseorang ke dalam sebuah percakapan intim yang menyentuh hati?
kapan terakhir kali kita melakukan sesuatu untuk pertama kalinya?
terakhir kali kita membuat seseorang tertawa?
terakhir kali kita mengembara ke tempat-tempat baru?
terakhir kali kita meminjamkan telinga bagi orang lain dan mendengarkan keluh kesah mereka dengan sungguh-sungguh?
Photo by Amy Shamblen on Unsplash
Kita terlalu sibuk memoles kualitas fisik dan tampilan luar diri kita, sampai kita lupa bahwa kualitas diri kita yang ada di dalamnya adalah sama—bahkan mungkin jauh lebih penting daripada apa yang tampak oleh mata. Mungkin kita mesti belajar terlebih dahulu untuk mampu mengasihi orang lain dengan mata tertutup, agar dapat mengapresiasi bahwa kemampuan untuk mengasihi dengan mata terbuka ternyata merupakan suatu berkat yang luar biasa. Bukankah Rasul Paulus pun dalam 2 Korintus 5:7 mengatakan bahwa hidup kita ini bukanlah karena melihat, melainkan karena percaya?
—
Bayangkan sebuah dunia di mana kita tak dapat melihat.
Jika seluruh dunia itu buta,
berapakah orang yang akan kamu buat terkesan?
berapakah orang yang akan jatuh cinta padamu?
berapa banyakkah hati yang akan tersentuh olehmu?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: