Apakah orang Kristen wajib atau harus memberikan perpuluhan?
Apa kata Alkitab tentang perpuluhan?
Apa fungsi memberikan perpuluhan?
Pertanyaan ini muncul dalam pemikiran banyak orang Kristen di dunia, termasuk aku. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh, aku mau bertanya kepada Ignite People. Mari kita jujur kepada diri sendiri secara sadar. Ketika memberi perpuluhan, apa, sih. yang kita pikirkan atau jadikan motivasi? Mungkin tanpa sadar, kita mendasarkan pemberian perpuluhan itu pada alasan-alasan ini:
(Mungkin ada alasan lain yang bisa Ignite People tuliskan di kolom komentar, ya!)
Bagi Thomas Schreiner, topik perpuluhan dalah topik yang penting, tetapi bukan yang terpenting di dalam iman Kristen. Meski bukan yang terpenting, perlu adanya sikap yang diutarakan pada topik ini.
Sebenarnya Alkitab berbicara apa tentang perpuluhan?
Perpuluhan adalah konsep yang muncul di dalam beberapa kitab Perjanjian Lama (Kej. 14, 28; Im. 27; Bil. 18; Ul. 14; Neh. 10, 12, 13; Mal. 3). Konsep ini adalah konsep ucapan syukur dan perjanjian yang dilakukan oleh Abraham, Allah, dan orang-orang Israel dengan memberikan sepuluh persen dari penghasilan yang di dapat. Schrainer mengatakan bahwa agak sulit untuk menentukan dengan persis berapa jumlah total yang mereka persembahkan waktu itu, tetapi dia menduganya sekitar 20 persen/tahun.
Lalu, kepada siapa perpuluhan itu ditujukan?
Pada intinya, perpuluhan ditujukan kepada Tuhan. Namun, orang Israel memberikannya melalui perantaraan imam Lewi. Jadi, setiap persembahan yang diberikan oleh orang Israel untuk Tuhan itu juga adalah bagian dari iman Lewi.
Kalau begitu, berarti orang Kristen harus memberikan perpuluhan, dong! Kan, Alkitab mengajarkan demikian.
Tunggu dulu! Jangan melihat Alkitab secara parsial. Mari kita kita lihat apa yang Perjanjian Baru katakan tentang perpuluhan.
Rasul Paulus menegaskan dalam beberapa suratnya bahwa orang percaya tidak lagi berada dibawah hukum Musa (Taurat) (Rm. 6, 7; 2 Kor. 3; Gal. 3). Kematian dan kebangkitan Kristus menggenapi hukum Taurat, sehingga orang percaya berada di bawah hukum Kristus. Schrainer menambahkan bahwa di dalam zaman sekarang (alias Perjanjian Baru), tidak ada lagi tidak ada lagi iman Lewi. Orang percaya adalah imam itu sendiri (1Pet. 2; Why. 1, 6, 20) dan Imam Besar Agung kita adalah Yesus Kristus (Ibr. 7). Berbeda dari imam besar yang memang adalah manusia berdosa, Yesus Kristus dapat merasakan bagaimana ketika kita dicobai—tetapi tetap tidak berdosa karena Dialah Tuhan (Ibrani 4:15).
Yesus sendiri mencela orang-orang Farisi dan Ahli Taurat yang memberikan perpuluhan (Mat. 23:23) karena mereka mengabaikan aspek lain dalam hukum Taurat yang harusnya mereka jalankan yaitu berkaitan dengan keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Maka, dengan kata lain pemberian persepuluhan harus berjalan beriringan dengan keadilan sosial, belas kasihan kepada sesama, dan kesetiaan kepada Allah. Perlu diingat bahwa kecaman Yesus itu disampaikan sebelum peristiwa penyaliban dan kebangkitan-Nya. Nah, kalau begitu, berarti kita tidak perlu memberikan perpuluhan karena Yesus telah menggenapi dan menghapuskan kegagalan para imam dalam memberikan teladan hidup?
Tunggu dulu! Yesus dan Paulus tak pernah melarang pemberian perpuluhan. Sebaliknya, mereka memberikan penekanan yang sama mengenai pemberian dengan KASIH (hal ini mencakup keadilan sosial dan kesetiaan kepada Allah). Ini berarti bahwa kesetiaan kepada Allah tak bisa dilakukan dengan mengabaikan belas kasih kepada sesama dan keadilan sosial. Orang percaya dipanggil untuk membantu mereka yang miskin (Kis. 2:43–47; 4:32–37; 11:27–30; Gal. 2:10; 1 Kor. 16:1–4; 2 Kor. 8:1–9:15) dan membantu para pengabar Injil (pendeta, penginjil, misionaris, guru, dll.) (Mat. 10:10; Luk. 10:7; 1Kor. 9:6–14; 1Tim. 5:17–18).
Jadi apakah orang Kristen harus memberi perpuluhan hari ini?
Jawabanku adalah TIDAK HARUS/TIDAK WAJIB. Jawaban ini tak memberi legitimasi bahwa setiap orang percaya dapat menimbun harta mereka. Ingat, kita dipanggil untuk terlibat dalam mendukung pemberitaan Injil dan menolong sesama yang membutuhkan.
Pemberian perpuluhan bukanlah tentang perkara boleh atau tidaknya, meskipun ini jadi sesuatu yang diperbolehkan dan bukan jadi kewajiban bagi orang percaya untuk melakukannya. Namun, yang lebih penting dari itu adalah sinkronisasi kehidupan mereka dan bagaimana pendapatan mereka dapat tercukupi tanpa terbebani oleh perpuluhan. Mengerikan jika membayangkan bagaimana orang percaya yang hidup di dalam kemiskinan harus membanting tulang untuk hidup, tetapi juga terbebani oleh aturan pemberian perpuluhan karena dalih "ini perintah Alkitab". Bukankah pemahaman seperti itu adalah penjajahan dalam bentuk agama?
Jika merenungkan kembali pertanyaan di awal tulisan ini, maka kita dapat mendapati bahwa ada kemungkinan selama ini kita melakukan sesuatu hanya berdasarkan ketakutan, rutinitas agama, dan berkat. Bukankah Allah memberikan kita kesempatan untuk hidup bagi-Nya dengan status anak-anak Allah, bukan status budak yang takut akan tuannya (bnd. Rm. 8:15)? Sadarkah konsep yang selama ini gunakan berpusat pada diri sendiri, bukannya kepada Allah?
Tanpa sadar, ada kalanya kita memproyeksikan Allah yang bengis dan kejam dalam pikiran kita sendiri. Mungkin ini juga karena pengalaman kita bersama sosok ayah yang tidak hadir (fatherless), tidak memenuhi kebutuhan emosi kita sejak kecil, atau karena ada anggapan yang ditanamkan bahwa sosok ayah tidak bisa diandalkan dan mau mengasihi kita apa adanya. Anggapan-anggapan ini dapat membentuk "pengenalan" kita terhadap Allah yang keliru, seperti "Jika kita tidak memberi apa yang Tuhan mau maka kita akan dikutuk dan tak diberi-Nya berkat." Jika benar bahwa Allah yang selama ini kita pahami seperti itu, maka sesungguhnya Ia tak Mahapengasih, tak Mahapemurah, dan tak Maha ... (apa pun yang menggambarkan identitas Allah seperti Kel. 34:6). Kabar baiknya, Dia berbeda dari ayah yang ada di dunia ini. Allah kita adalah Bapa yang mengasihi dan menerima kita dengan segala keunikan yang diberikan-Nya kepada kita. Maukah kita percaya akan hal ini, dan menerima Allah yang Mahasempurna itu mengubahkan hidup kita—termasuk konsep pemberian perpuluhan ini?
Bagi kita yang berkomitmen untuk memberi perpuluhan, mari kita renungkan dua pertanyaan ini:
Jawaban dari kedua pertanyaan di atas hanya bisa kita dapatkan seiring berjalannya waktu dan melalui hikmat Allah yang diberikan-Nya melalui relasi kita bersama-Nya. Dibutuhkan kepekaan terhadap kerinduan Allah untuk memberikan apa yang Dia percayakan kepada kita, dan ketika melakukannya, kiranya kita juga dilimpahi ucapan syukur atas anugerah-Nya yang melayakkan kita terlibat dalam pekerjaan-Nya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: