Yerusalem yang baru, langit dan bumi yang baru, semoga menjadi milik kita bersama. Iya, kita semua, umat manusia, tak pandang apapun identitas kita.
Beberapa hari yang lalu, isu yang seksi itu kembali “digoreng”. Intoleransi dan persekusi terhadap minoritas, katanya. Pemotongan salib di makam, katanya. Begitu panasnya digoreng, timbul pro dan kontra dari berbagai sisi serta suara bising dari berbagai penjuru. Beragam ekspresi kemarahan serta pesimisme akan keramahan terhadap perbedaan muncul, pun dengan pihak yang menyangkalnya.
Kasus pemotongan nisan ini juga hadir beriringan dengan masa raya Natal. Sungguh “indah” menikmati publik kembali diramaikan oleh perdebatan khas masa akhir tahun; Bolehkah mengucapkan “Selamat Natal”?; Bolehkan aksesoris Natal boleh dikenakan?; Seberapa jauh umat Kristen boleh beribadah dan merayakan Natal?; Seberapa banyak pengamanan yang harus dilakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan?
Photo by cegoh on Pixabay
Segala kebisingan yang menghampiri persiapan menyambut Natal ini – beserta segala isu turunannya –menghasilkan adu suara yang berkecamuk di pikiran saya dan menyisakan beberapa pertanyaan. Masyarakat awam kerap mengaitkan Natal dengan pesan damai. Damai di bumi, damai di hati – kata sebuah ungkapan klise. Namun jika melihat dan menjumpai masa Natal di Indonesia, apa benar orang-orang menginginkan perdamaian itu? Atau jangan-jangan, masa Natal lebih baik dimusnahkan daripada terus memancing kericuhan yang tak berfaedah?
Saya tahu, mungkin saya stres karena terlalu banyak membuka media sosial, apalagi kalau melihat kolom komentar. Tapi memangnya, dengan menutup layar gawai, semuanya bisa beres? Bagaimana dengan topik obrolan orang-orang kantor? Bagaimana dengan pembicaraan yang tercuri-dengar di transportasi umum? Bagaimana dengan interaksi yang harus saya lakukan dengan orang lain, entah itu rekan gereja, teman-teman di grup Whatsapp, ataupun pengemudi ojek yang saya tumpangi?
Pemikiran-pemikiran yang melelahkan ini mendorong saya untuk menggali lebih dalam: mengapa segala hal ini begitu mengganggu damai sejahtera saya? Tidakkah mungkin bagi saya untuk melihat segala isu yang beredar itu dengan lebih jernih, mengusahakan dialog, seraya menjaga dinginnya kepala? Atau jangan-jangan, kemarahan saya ini rasional? Saya dibimbing melihat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di tahun ini, dan menemukan jawaban yang cukup meremukkan hati saya.
Photo by Free-photos on Pixabay
Saya lahir dalam lingkungan multi-iman. Walaupun keluarga inti saya semuanya beragama Kristen, keluarga besar saya masih lebih banyak yang beragama Islam. Rekan-rekan saya selama berkuliah dan di kantor pun tidak sedikit seorang penganut Islam yang taat. Hubungan saya dengan mereka biasanya tidak aneh-aneh. Mereka cukup open-minded, terlepas dari perbedaan pandangan religius, sosial, maupun politik.
Saya juga orang yang percaya bahwa setiap agama, meski punya perbedaan-perbedaan mendasar, tentu mengajarkan kebaikan serta harmoni. Benar, memang ada berbagai persekusi “minoritas” oleh “mayoritas”. Namun interaksi langsung dengan mereka yang berbeda, membuat saya percaya bahwa hidup harmonis selalu mungkin diwujudkan. Sampai akhirnya, kejadian pada 13 Mei 2018 pagi meruntuhkan dunia saya.
Surabaya digoncang oleh bom yang terjadi di tiga gereja, oleh satu keluarga “Islam taat” yang merencanakan bom bunuh diri. Salah satu Gereja yang terdampak adalah GKI Diponegoro, “rumah” bagi saya selama paling tidak sepuluh tahun lamanya. Gereja tempat keluarga saya terlibat aktif baik sebagai panitia ataupun pengurus komisi. Hingga kini pun, saya masih kenal banyak orang di dalamnya. Tidak, saya tidak berhak berlagak sebagai yang paling terdampak, terlebih saat itu saya sudah tinggal di Jakarta. Namun kejadian itu seolah meledakkan suatu kemarahan yang ternyata telah terpendam dalam diri saya sejak lama.
Photo by Wokandapix on Pixabay
Semua berawal dari mulai berhentinya ucapan “selamat Natal” dari sanak saudara, dilanjut mengetahui kisah mangkraknya pembangunan Gereja dekat rumah karena dilabrak segerombolan orang bersorban dan berjubah putih. Dalam lingkup yang lebih luas, pengalaman mendengarkan cerita rekan-rekan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang gerejanya disegel, kebisingan politik identitas di Pilpres 2014 serta Pemilu-Pemilu setelahnya, hingga kasus pembakaran vihara pasca ada keluhan terhadap suara azan, semuanya terus mengakumulasi amarah saya.
Semua mencapai titik nadirnya di hari Minggu pagi itu. Di grup Whatsapp yang berisi teman-teman kuliah, saya marah-marah bahkan hingga mengatakan hal-hal yang kasar. Saya pun memutuskan left group karena merasa tidak kuat. Tidak kuat dengan kemarahan di kepala sendiri. Tidak kuat dengan respons mereka yang berbeda dari harapan saya. Tidak kuat menerima kenyataan bahwa hari itu, tampaknya saya mulai benar-benar fobia dengan Islam. Saya selalu sedih bila mencoba mengingat kembali semuanya itu.
Sampai dengan hari ini pun saya merasa masih belum pulih. Sangat mungkin bagi saya untuk terpancing bila isu-isu seputar agama kembali merebak. Saya mengakui, saya dipenuhi rasa benci, tidak berbeda dari mereka yang melakukan persekusi. Namun, pelan-pelan saya pun belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan mengupayakan perbaikan.
Photo by Pexels on Pixabay
Sama seperti kisah Natal, tidak ada kata terlambat untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah yang dirusak dosa. Natal merupakan masa yang paling tepat untuk menghayati bahwa rekonsiliasi dan perdamaian itu tak pernah mustahil. Kelahiran Yesus Kristus menunjukkan bahwa Allah begitu rindu memulihkan relasi-Nya dengan manusia hingga “pasang badan” untuk memenuhinya.
Pada akhirnya, hanya satu yang bisa saya usahakan: mulai dari diri sendiri. Mulai rendah hati mohon Allah mengubahkan hati. Mulai terlibat, mulai buka dialog, mulai mendengarkan dan berbagi dengan mereka yang selama ini dipandang sebelah mata. Terus memperjuangkan rekonsiliasi itu sejauh-jauhnya, semampu-mampunya.
Photo by jpleino on Pixabay
Saya akan menutup tulisan ini dengan kutipan lirik lagu salah satu band favorit saya, “.Feast” yang berjudul “Jerusalem”. Lagu ini ditulis oleh sang vokalis, Baskara Putra, bersama rekannya, Rubina. Keduanya sama-sama memiliki keluarga berlatar belakang Nasrani dan sama-sama muak dengan persekusi yang harus dialami oleh kaum “minoritas”.
“Why not be our road be as one?
Tear down this border
We share the same mother
Our foes aligned
Dreams intertwined
Blow off your steam
Tomorrow is fine
Share our promised land this time
Jerusalem's not just mine”
Maka ini juga menjadi doa saya: mencoba percaya di tengah segala ketakutan dan kemarahan. Yerusalem, semoga bukan hanya milik saya, atau golongan saya. Yerusalem yang baru, langit dan bumi yang baru, semoga menjadi milik kita bersama. Iya, kita semua, umat manusia, tak pandang apapun identitas kita. Kita yang begitu dirindukan Allah dalam harmoni lewat Kristus, bagaimanapun hancurnya kita saat ini.
Selamat Natal.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: