Tidak apa-apa untuk selalu mencurigai “apakah saya misdiagnosis iman?” Mengajukan pertanyaan tersebut akan menolong anda untuk lebih mawas diri dalam merawat relasi anda dengan Allah.
Yeremia 44 : 16 – 17
“Mengenai apa yang kau katakan demi nama Allah kepada kami itu, kami tidak akan mendengarkan engkau, tetapi kami akan terus melakukan segala apa yang kami ucapkan, yakni membakar korban kepada ratu sorga dan mempersembahkan korban curahan kepadanya seperti telah kami lakukan, kami sendiri dan nenek moyang kami dan raja-raja kami dan pemuka-pemuka kami di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Pada waktu kami mempunyai cukup makanan; kami merasa Bahagia dan tidak mengalami penderitaan”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diagnosis memiliki arti penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya. Dalam menentukan sebuah diagnosis dari seorang pasien, dokter melakukan beberapa Langkah, seperti :
Dari apa yang kita baca dalam Yeremia 44 : 16-17, bisa dikatakan bahwa Bangsa Israel sudah “misdiagnosis” terhadap imannya. Mereka tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi Yeremia karena mereka merasa bahwa mereka sudah tahu “penyakit” yang mereka alami. Mereka menyimpulkan bahwa mereka tertimpa perang dan bencana kelaparan karena kurang memberi persembahan kepada berhala-berhala. Dan mereka mencoba mengobati “penyakit” tersebut dengan memberikan lebih banyak persembahan kepada berhala.
Dalam bidang kesehatan, misdiagnosis dapat mempengaruhi banyak hal dari pasien dan kemungkinan dapat memberi dampak yang tidak baik. Misdiagnosis merupakan istilah bahasa Inggris dari “salah diagnosis”. Bayangkan saja jika anda yang sebenarnya memiliki sakit jantung (tapi semoga anda semua sehat ya, ini permisalan saja) tetapi dokter salah diagnosis menjadi sakit maag (keduanya bisa memiliki gejala yang mirip). Bagaimana dampaknya? Anda hanya akan diobati dengan obat-obatan untuk sakit maag, bukan sakit jantung. Lalu bagaimana dengan jantung anda yang sedang sakit? Mungkin saja sakitnya akan bertambah parah karena obat maag tidak dapat mengobati penyakit jantung.
Saya rasa antara “misdiagnosis” dan langkah diagnosis yang tepat juga dapat diimplementasikan ke dalam relasi kita dengan Tuhan. Seringkali, saat mengalami sebuah pergumulan kita mencoba menyimpulkan ini dan itu, hanya menurut apa yang kita pahami. Mungkin tidak selamanya salah. Namun bagaimana kalau ternyata kita “misdiagnosis”? Bagaimana kalau ternyata apa yang kita simpulkan bukanlah seperti apa yang Tuhan kehendaki? Karena itulah ketika merasa relasi kita dengan Allah sedang “sakit”, kita perlu melakukan Langkah-langkah diagnosis bagai seorang dokter.
Tidak apa-apa untuk selalu mencurigai “apakah saya misdiagnosis iman?” Mengajukan pertanyaan tersebut akan menolong anda untuk lebih mawas diri dalam merawat relasi anda dengan Allah. Selamat menjadi “dokter” bagi iman anda!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: