Hitam kini hitam nanti… Gelap kini akankah berganti…
Artikel ini merujuk pada Roma 3:9-12.
Akhir-akhir ini, perselingkuhan seolah-olah menjadi “tren” di kalangan figur publik. Film, serial, dan drama juga tak jarang yang mengangkat tema perselingkuhan. Tidak hanya dalam kehidupan nyata maupun cerita fiksi, lagu-lagu juga banyak yang memuat tentang tema ini. Salah satunya adalah yang menjadi inspirasi judul artikel ini, yaitu “Kala Cinta Menggoda,” mulanya dinyanyikan oleh Chrisye dan dikemas ulang oleh band Noah.
Jika dibaca dan dipahami liriknya, lagu ini bercerita tentang seseorang–yang sudah punya pasangan–yang jatuh cinta dengan seorang yang juga sudah memiliki pasangan. Rumit, ya. Kata Chrisye, “Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani… Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini… .” Memang, ketika mengikuti hati, kadang kita sulit untuk menolak apa yang kita rasakan atau inginkan. Seringkali, kita memilih untuk semata-mata mendengarkan dan menuruti kata hati kita secara impulsif. Nah, bagaimana jika kita melihat situasi ini bukan ketika digoda cinta yang salah, tetapi ketika digoda oleh dosa? Apa jadinya jika kita tidak dapat menghindar dari godaan dosa?
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Seperti seorang selingkuhan, dosa mempunyai daya tarik tersendiri. Seperti buah pengetahuan yang baik dan yang jahat tampak enak, begitulah dosa yang begitu memikat dengan kenikmatannya. Tanpa sadar, kita mengikuti keinginan hati kita untuk meraih, memetik, dan memakannya. Kita lengah, padahal sudah diingatkan bahwa godaan dosa diselubungi oleh tipu daya dari si jahat karena dia adalah pendusta (Yoh. 8:44). Kita lengah, padahal sudah diingatkan, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat. 26:41).
Manusia memang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, dengan kapasitas yang berbeda dari ciptaan lain dan mandat yang khusus. Tidak seperti hewan yang hanya memiliki insting, manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas. Ini berarti, manusia tidak mengikuti dorongan insting semata, tetapi dapat menilai dorongan ini dengan akal budi dan dapat memilih untuk melakukan atau tidak melakukan dengan kehendak bebasnya. Karena kehendak bebas ini juga, manusia memiliki kapasitas untuk berdosa.
Ketika manusia lebih memilih menuruti keinginannya, manusia jatuh dalam dosa. Manusia menginginkan apa yang dilihat matanya, apa yang bagi mereka nikmat, dan apa yang dapat menjadi kebanggaan dirinya. Manusia percaya bahwa ia akan terbuka matanya dan menjadi seperti Allah (Kej. 3:5). Dan, betul; memang manusia terbuka matanya sehingga dapat menyadari apa yang jahat dan tertarik kepada yang jahat itu. Namun, manusia tidak menyadari bahwa keinginan menjadi seperti Allah itu sendiri sudah salah; manusia mencoba menempatkan dirinya di atas dan di luar hukum Allah. Secara otomatis, manusia jadi memiliki orientasi untuk tertarik pada dosa sehingga menyeleweng dari tujuan-Nya diciptakan, yaitu untuk taat kepada Allah dan melakukan apa yang dimandatkan oleh Allah. Natur manusia rusak; manusia kehilangan kemampuan melakukan kebaikan spiritual, sehingga layak mendapat ganjaran (dalam artian buruk) hukuman kekal.
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Kita adalah pewaris natur dosa tersebut dan tak ada satu orang pun yang luput (Rm. 3:23). Lalu, bagaimana nasib kita sebagai manusia yang diciptakan segambar dan serupa Allah? Masihkah kita bisa dengan sadar memilih melakukan kehendak Allah dalam hidup kita? Apakah akal budi kita masih bisa membantu kita memutuskan untuk memilih Allah atau dosa? Mengenai hal ini, Paulus pernah menulis dengan tegas:
Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” — Roma 3:9-12
Pernyataan Paulus di atas ingin mengatakan bahwa kita semua salah dan berdosa; akal budi kita tidak membantu untuk kita mencari Allah. Kita tidak setia kepada Allah dan kita tidak berguna karena kita tidak lagi mampu berbuat baik. Seluruh aspek diri kita tercemar sehingga kita kehilangan kemampuan untuk setia kepada Allah dan memiliki kecenderungan untuk menyeleweng dengan dosa. Dalam hal ini, kita semua ‘bernasib’ sama: sama-sama rusak.
Photo by Joeyy Lee on Unsplash
“Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta,” kata Chrisye. Kalau cinta seperti panah, dosa sepertinya lebih mirip dengan racun. Ketika seseorang mengalami keracunan, tentu ada berbagai efek yang dapat dirasakan, bahkan bisa menyebabkan kematian. Dosa yang sudah menjadi racun yang menyebar tentu mengontaminasi segala sesuatu. Seperti yang disebutkan dalam ayat 10-12, kontaminasi dosa antara lain menyebabkan:
1. Tidak ada manusia yang benar
Status manusia adalah bersalah karena natur berdosa manusia. Natur berdosa ini mencemari seluruh aspek diri manusia. Ayub 14:4 mengatakan, “Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorang pun tidak!” Dalam versi bahasa Inggris, “Who can bring what is pure from the impure? No one!” (NIV) atau “Who can bring a clean thing out of an unclean? No one!” (NKJV). Setidaknya ada 2 hal yang ingin ditunjukkan dari ayat ini. Yang pertama adalah kita najis, kotor, dan tidak suci, maka kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang tahir, bersih, dan suci. Yang kedua adalah tidak ada seorang pun yang tahir, bersih, dan suci.
2. Tidak ada manusia yang memahami dan mencari Allah
Dengan moralitas dan rasio yang rusak, kecenderungan hati manusia tidak lagi mengarah kepada Allah Sang Pencipta. Manusia tidak lagi mampu mengenal kehendak Allah, bahkan cenderung mengikuti kehendak-Nya sendiri. Manusia tidak lagi peka dengan tuntunan Allah melalui hukum-hukum-Nya, tetapi membuat hukum sendiri sesuai dengan pemikiran moral dan rasional mereka.
3. Tidak ada manusia yang berharga karena sudah menyeleweng dan tidak dapat berbuat baik
Apa yang dilakukan manusia juga karya yang dibuat oleh manusia tidak ada yang sempurna dan punya potensi ke arah yang jahat. Contohnya, penemuan dinamit. Pada dasarnya, dinamit ini dibuat untuk mempermudah pembuatan jalan tambang yang biasanya menembus bebatuan yang tebal dan keras. Namun, dalam perkembangannya, dinamit–dengan modifikasi menjadi senjata eksplosif lainnya–juga dipakai sebagai senjata perang. Ini bukanlah masalah bendanya, tetapi penggunanya, yaitu manusia dengan kehendaknya yang memutuskan apa yang ia ia ingin lakukan dengan objek tersebut. Dengan kata lain, kehendak manusialah yang menentukan apakah manusia akan memilih untuk setia kepada kehendak Allah, atau menyeleweng kepada godaan dosa.
Photo by Sven Brandsma on Unsplash
“Hitam kini hitam nanti… Gelap kini akankah berganti…”
Dosa seringkali dikaitkan dengan kegelapan (1 Yoh. 1:5-7). Mereka yang hidup dalam kegelapan artinya tidak hidup dalam kebenaran. Sebagaimana Roma 3:12 tadi menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat berbuat baik karena dosa membuat tindakan manusia bengkok dan keluar dari hukum Allah. Semakin dilakukan, manusia akan semakin terbiasa sehingga manusia menjadi tidak sensitif terhadap dosa. Hati nuraninya menuruti hukum yang keliru, tidak lagi merasa bersalah, lalu dilakukan semakin sering, semakin intens, dan semakin luas jangkauannya. Begitu sulitnya keluar dari jeratan dosa ini sampai Paulus pun menyarankan kita untuk lari dari dosa (1 Kor. 6:18; 2 Tim. 2:22). Jika demikian, dosa dapat menjadi lingkaran mematikan yang semakin menghancurkan diri manusia. Kalau sudah begitu, apakah masih ada harapan untuk menolak godaan dosa? Apakah masih ada harapan untuk keluar dari jeratan dosa yang mematikan, sementara kehendak kita pun cenderung memilih dosa?
Mari kita refleksikan:
Pada situasi seperti apa kita merasa sulit untuk setia kepada Allah?
Dosa apakah yang paling mudah membuat kita “menyeleweng” dari Allah?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: