Bukan tentang para Mi Fans ya.
Ketika masih jadi admin Medsos sebuah gereja, pernah ada pertanyaan yang masuk (melalui DM) ketika saya posting soal "Pasangan yang tidak seimbang" (II Korintus 6:14), yang kurang lebih demikian: "Menurut Mimin mending mana: pacaran sama yang gak seiman tapi menjaga kekudusan, atau pacaran dengan yang seiman tapi gak kudus karena cuddling sampai keterusan?". Pas baca itu, saya teringat pertanyaan dari host sebuah acara TalkShow di TV ke bintang tamunya: "Lo lebih milih mana: anak lo suatu hari bilang ke elo kalau dia udah hamilin FWBnya atau anak lo ngaku kalau dia gay?".
Pertanyaan-pertanyaan mendang mending ini makin sering muncul di media sosial, di kolom komentar feed Instagram atau reply di Twitter, terhadap sebuah berita atau postingan yang memicu pro kontra; misalnya selebritis menggunakan narkoba atau hamil di luar nikah. Mending ini... daripada itu.... “Lebih baik ini lah, lha si itu pernah...”. Jadi buat kaum mendang mending ini, dosa itu kayak ayam geprek: ada levelnya. Misal menyangkut kekudusan, kayak pertanyaan kaum mendang mending di awal: kalau cuddling dengan alasan untuk healing itu level-1. Lalu level-2 itu habis cuddling lalu nge-ghosting. Dosa level-3 itu making love (ML). Dan dosa yang levelnya paling ultimate, paling WHY? (diikuti suara burung elang), adalah cuddling dengan sesama laki-laki/perempuan terus ML tapi lalu di-ghosting dan tubir dengan spall spill di Twitter.
Tapi pernah kepikiran gak sih, dengan bikin dosa punya level-level seperti itu membuat masyarakat lama-lama menoleransi (dan membuat mereka yang melakukannya jadi biasa aja). Flashback ke 23 tahun yang lalu, di mana hamil di luar nikah itu dianggap sangat tabu dan membuat anak hasil dari hubungan itu "direkontruksi sedemikian rupa" di Kartu Keluarga, sehingga anak itu menjadi anak bungsu di keluarga kakek/neneknya... Sekarang? Anak dari hubungan sebelum pernikahan dengan bangga dipamerkan ke publik. Ya memang, masih ada yang malu jika itu terjadi padanya/keluarganya, atau bilang: "Kamu gak berempati apa sama mereka?" (tapi konteks mendang mending kali ini di luar itu). Ini adalah sebuah perubahan sudut pandang masyarakat, misal di kasus lain, soal pandangan kepada para remaja yang membeli kondom di swalayan itu terlihat/berasa seperti beli permen di beberapa tahun yang lalu... "Ya mending safe sex lah ya, daripada...", kata beberapa SJW* kondom.
Membela sebuah perbuatan dosa karena levelnya lebih rendah ("Mending lah cuma pake kas RT sejuta doang, itu koruptor ambil duit negara ratusan Miliar apa kabar?"), sesungguhnya tidak akan pernah membawa kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Malahan sikap ini akan pelan-pelan membawanya, atau lingkungannya, "tenggelam" dan bisa saja lalu "mati" dalam kubangan “dosa-dosa level satu”nya. Seorang anak yang lahir di lingkungan dosa kekerasan level dua, akan menganggap memukuli pasangan itu perbuatan yang biasa aja, bukan?
"Ya kan gak ada orang yang sempurna... emang malaikat?" Biasanya akan jadi pembelaan terakhir oleh mereka yang suka defense terhadap dosa yang sering dilakukannya; dan menganggapnya biasa aja. Tapi bukankah Tuhan Yesus pernah meminta kita harus sempurna? (Matius 5:48). Jika Tuhan Yesus meminta kita melakukannya, pastilah Dia tahu kemampuan manusia yang notabene ciptaan-Nya. Caranya? Dengan terus berusaha memperbaiki diri kita: menyadari kesalahan-kesalahan yang sering kita anggap biasa, mengakuinya di hadapan Tuhan kemudian berusaha keluar dari jeratnya, dan lalu tidak menghakimi orang lain karena menurut kita dosanya di level lebih tinggi dari yang kita lakukan (bukan malah merasa lebih mending/lebih baik).
Tuhan Yesus itu tidak pernah lelah mengampuni. Kitanya aja yang sering dibuat lelah oleh iblis untuk memohon pengampunan. Dan bukankah beberapa dari kita juga pernah bernyanyi: "'ku mau s'pertiMu Yesus, disempurnakan s'lalu..."? Dia, Tuhan Yesus, sanggup kok menyempurnakan hidup kita, asalkan kita juga sungguh-sungguh ingin sempurna sepertiNya.
Perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai: perumpamaan dari Tuhan Yesus untuk mereka yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain. Sekali saja merasa diri yang paling benar di hadapan Tuhan, di saat itulah diri kita dikuasai kesombongan; dan Tuhan akan merendahkan orang yang meninggikan dirinya. (baca: Lukas 18:9-14)
Jadi mulai sekarang janganlah jadi kaum mendang-mending terhadap dosa. Karena sikap memendang mendingkan ini bisa membawa kita pada kesombongan; bahwa kita lebih baik dari dia, dari mereka, dari orang-orang di sekitar kita (atau yang masuk postingan di Area Julid atau Lambe Turah)**, dan akhirnya membuat kita nyaman pada dosa-dosa level rendah yang dilakukan di masa sekarang. Padahal hati-hati lho dengan yang namanya menoleransi, apalagi menoleransi perbuatan dosa; karena sikap itu akan membuat iblis menjadi tahu bagaimana cara membawamu lebih dalam lagi masuk dalam kerajaannya yang gelap dan tidak ada sukacita.
Dengan tidak lagi jadi kaum mendang mending terhadap dosa, kita akan makin disempurnakan olehNya. Karena... bukannya akan susah ya mengubah diri sendiri menjadi lebih baik, jika kita sendiri sudah yakin kalau diri kita yang paling baik?
"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." (Amsal 3:5-6)
Note:
*) SJW: Social Justice Warrior (Pejuang Keadilan Sosial/PKS)
**) Nama account di Medsos
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: