“...Hai engkau yang dikasihi, janganlah takut, sejahteralah engkau, jadilah kuat, ya, jadilah kuat!” (Daniel 10:19a)
Amazing grace,
how sweet the sound that saved a wretch like me!1
“Ya, saya percaya dan berjanji.”
Sehela napas yang kutarik dalam-dalam sebelum mengucapkan sebaris kalimat pernyataan iman itu menyeruak keluar dengan penuh kelegaan selepas ia meninggalkan mulutku. Degup jantung di dadaku perlahan-lahan kembali berdetak normal, buku-buku jari yang memutih karena rasa gugup perlahan kembali dialiri darah, mengisinya dengan warna kehidupan setelah mengembalikan mic kepada petugas yang melayani dalam ibadah yang membisikkan kata-kata: “Selamat, ya.”
—
I once was lost, but now I’m found;
"Primaridiana Pradiptasari, aku membaptiskan engkau di dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Amin."
Tangan sang pendeta dengan lembut mengusap rambutku. Dinginnya air menyapa kulit kepalaku. Aku tertunduk dengan hati yang dipenuhi rasa haru.
Itu adalah satu-satunya pagi yang aku nanti, setidaknya sejak perjalanan ini aku mulai untuk pertama kali. Di pagi hari itu, waktu terasa berhenti. Dunia seolah sepakat membiarkan aku mencicipi sunyi.
Was blind, but now I see.
Ketika waktu berjalan kembali, aku segera bangkit berdiri. Sebelum bersiap pergi, kuanggukkan kepalaku ke arah pendeta—sebuah ungkapan terima kasih.
Sembari berjalan kembali ke bangku, kilasan demi kilasan kejadian dari hari-hari yang lampau mengusik kepalaku. Skenario hidup dari awal mula ubun-ubunku bertemu dunia sejak roh ditiupkan kepadaku.
Aku mengingat hari-hari ketika menyusuri jalan setapak yang sempit bersama kawan-kawan kecilku. Mengitari rumah-rumah orang hingga hewan-hewan dalam kandang, demi pergi menuju tempat kami biasa mengaji dan membaca ayat-ayat dengan lantang. Sepulang dari sana, kami semua kembali ke rumah dengan hati yang riang.
Photo by Josh Calabrese on Unsplash
'Twas grace that taught my heart to fear,
Kakiku masih terus melangkah. Menapaki satu demi satu petak ubin yang berwarna cerah.
Aku mengingat saat-saat menjelang remaja awal selepas sekolah dasar. Mengingat diriku yang mesti beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru dan segala kesulitan yang kualami untuk dapat berbaur dalam ingar bingar. Aku yang masih tekun belajar dan dipenuhi keinginan untuk taat menjalankan kewajiban-kewajiban tanpa sekali pun penasaran dan mencoba untuk melanggar.
Aku sungguh tak ingin menjadi hamba yang ingkar.
—
…and grace, my fears relieved.
Aku masih lanjut berjalan. Segala sesuatunya terasa lebih lamban.
Aku mengingat masa-masa remaja tanggung, ketika akal budi yang disematkan dalam batok kepalaku mulai terasa lebih kompleks dari alam semesta dan segala isinya.
Kusaksikan sendiri begitu berbedanya perlakuan institusi terhadap seorang kawan yang telah tiada, hanya karena agamanya yang tak seperti siswa kebanyakan. Aku mulai menyadari adanya tembok besar yang menjulang bernama diskriminasi berdiri tegak memisahkan aku dengan kau, kita dengan mereka, kami dengan kalian; sebuah tembok yang terus bertambah tinggi akibat kebencian yang dipupuk setiap hari.
Lupa bahwa pada hakikatnya kita adalah satu, tetapi begitu mudahnya dipecah belah hanya karena sebuah label yang seringkali tak dapat kita pilih dan tak bisa kita ubah.
Hari-hari itu—ketika banyak orang mulai menemukan kegemaran baru untuk bermain label—cukup membuatku ikut jeri melihat orang-orang di sekitarku mesti menanggung beban yang diakibatkan oleh permainan label dan stigma yang mereka beri. Kalau saja mereka menyadari bahwa sang penguasa seluruh alam semesta itu terlalu besar untuk dapat diklaim seorang diri—tetapi tidak, mereka lebih memilih mengatasnamakan-Mu dan merasa paling benar sendiri. Memuluskan segala nafsu serakah masing-masing dengan menggunakan tameng nama-Mu dan menancapkan perbuatan maupun perkataan menyakitkan di hati sesamanya bagai duri.
Aku tak ingin menjadi bagian dari orang-orang ini.
—
How precious did that grace appear…
Aku mengingat hari-hari ketika aku menyangkal-Mu, mempertanyakan eksistensi dan kuasa-Mu, mencari-cari jati diri sampai tersesat di lembah-lembah curam dan kelokan-kelokan tebing tertinggi.
Masa-masa ketika aku menyangsikan Engkau, menjadikan-Mu bahan candaan, mengumpulkan bukti-bukti untuk meniadakan-Mu dan menyebut-Mu sebagai sesosok entitas fiktif yang lahir dari keputusasaan dan ketidakberdayaan manusia akan hal-hal di luar kendali mereka.
Pun masa-masa mulai merasakan antipati yang begitu kuat terhadap agama sebagai sebuah institusi, ketika melihat adanya manusia-manusia lain yang merasa menjadi tangan kanan-Mu menghakimiku—memperbesar keinginan untuk sepenuhnya meninggalkan-Mu.
—
…the hour I first believed.
Namun bahkan setelah semuanya itu, aku menemukan bahwa Engkau tidak pernah menolakku. Di hari-hari tergelapku, ternyata Engkau masih mendengar doa-doaku yang tak sempurna, baik yang berupa kalimat-kalimat penuh maupun saat hanya air mata yang bisa aku keluarkan ketika bibirku kelu dan tak mampu mengucap sepatah kata pun.
Seruan-seruanku ternyata masih Engkau dengarkan, baik yang terapal dengan sisa-sisa kepercayaan yang tertinggal maupun yang aku teriakkan dalam bentuk sumpah serapah dan makian.
Ternyata Engkau pun masih mendengar segala ketakutanku, mendengar semua kecemasanku, mendengar seluruh keraguanku.
Rupanya sunyi dan pedih tak pernah berdebat tentang siapa penyebab tangis paling hebat. Sebab bila kemarin adalah waktu untuk jatuh bersimpuh, hancur, dan luluh; maka esok adalah waktu untuk sembuh.
—
My chains are gone, I’ve been set free,
Pada mulanya, Tuhan, aku memilih untuk mencintai-Mu diam-diam. Segala kekaguman dan rasaku sengaja aku pendam dalam-dalam. Hanya mampu memperhatikan umat Tuhan berlalu lalang memasuki rumah-Mu dari ujung jalan, membayangkan bahagia yang mungkin akan aku rasakan bila berada di antara mereka yang kepadanya Engkau berkenan.
Pada awalnya, Tuhan, aku sengaja tidak mengutarakan. Takut kalau-kalau bertepuk sebelah tangan—bukan dari sisiku seperti biasanya, melainkan dari sisi-Mu—apalagi semua ini hanya bermula dari keengganan, rasa muak, dan setitik rasa penasaran.
Aku lebih memilih menikmati hadir-Mu dalam kesunyian daripada harus menerabas risiko hilangnya privilese dan orang-orang dekat akibat perbedaan keyakinan. Hanya di dekat-Mu saja aku tenang, tetapi di saat yang sama aku belum siap kehilangan segala nyaman.
Namun tidak hari ini, saat semua perandaian itu pada akhirnya tak lagi sekadar angan-angan.
Photo by Joshua Eckstein on Unsplash
My God, my Savior has ransomed me;
Sesampainya di bangku belakang, sebelum kembali duduk, aku membalikkan badanku ke arah mimbar, berusaha menangkap setiap detail dari momen itu, tak henti-hentinya merasa takjub.
Apa yang terjadi di depanku saat ini adalah benar dan nyata.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, hari ini akhirnya tiba juga.
Barangkali benar bahwa aku tidak menghabiskan hari-hari Minggu di masa kanak-kanakku dengan pergi bergereja bersama seluruh anggota keluargaku, atau mendengarkan cerita nabi-nabi dan menyanyikan lagu-lagu khas Sekolah Minggu.
Barangkali benar bahwa aku tidak mengikuti kelas katekisasi dan menyatakan pengakuan iman percaya di usia remaja tanggung itu; alih-alih, masa tersebut malah merupakan masa kekosongan iman tergelapku.
Barangkali benar bahwa aku tidak pernah satu kali pun menginjakkan kaki di gedung gereja setidaknya sampai usia 17 tahun, tidak pernah mengambil bagian dalam pelayanan di komisi-komisi yang ada, juga tidak mengenali barang satupun nama-nama pendeta kondang.
Namun, barangkali pula semuanya itu sudah tak lagi penting. Di hari ini, oleh karena anugerah-Nya, aku telah lahir baru, sebagaimana yang ditulis oleh Paulus dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus: “…yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17)
—
And like a flood, His mercy rains…
Prim, lebihlah inginmu untuk menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi kamu akan menerima,
dengan mengampuni kamu pun diampuni,
dengan mati suci kamu bangkit lagi
untuk hidup selama-lamanya.2
…unending love, amazing grace
Selamat lahir baru, Daniella Francesca Primaridiana Pradiptasari.
Kamu sungguh sangat dikasihi; janganlah takut, dan jadilah kuat!
Jakarta, 6 Maret 2022
[1] Amazing Grace (My Chains Are Gone)
https://static1.squarespace.com/static/54ab775ce4b0375c08593f8a/t/58697fe2893fc0dff9fba296/1483309032659/Amazing+Grace+%28My+Chains+Are+Gone%29+C.pdf
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: