Mengapa saya masih diijinkan hidup?
“Tunjukkin video ketika kamu hancur banget tapi dunia tetap berjalan”.
Siapa yang belum pernah menonton tren video di TikTok tersebut? Rasanya sebagian besar anak muda sekarang pasti pernah melihat berbagai macam unggahan video tersebut dari banyak pengguna TikTok.
Melihat tren video tersebut, sejenak saya pun ikut berefleksi; kapan saya berada di titik terendah dalam hidup sampai bernafas saja rasanya begitu berat? Saya merenungkan sejenak dan berusaha mengingat berbagai masa ketika harus mengalami pergumulan berat. Perenungan ini membawa saya pada tahun yang begitu berat itu; titik terendah saya, pertengahan tahun 2019.
2019 adalah tahun ketika saya sedang menjalin sebuah hubungan dengan seseorang yang berbeda iman. Untuk sekian waktu, saya menikmati hubungan ini. Semua berjalan lancar dan baik-baik saja, sampai akhirnya peristiwa itu terjadi.
Pada suatu hari, dia mengajak saya untuk datang ke apartemen tempatnya tinggal. Tak ada acara khusus, hanya mampir untuk main biasa saja. Dia tinggal di apartemen tersebut bersama dua orang temannya, dan semua mengajak pasangannya masing-masing. Karena bukan perempuan sendirian, saya pun berani mengiyakan ajakan tersebut.
Malam hari pun tiba. Kami menenggak minuman beralkohol bersama-sama. Hal ini memang telah kami rencanakan sebelumnya. Saya pun kebetulan juga penikmat minuman beralkohol.
Bodohnya, saya tidak menyadari bahwa minuman yang dia tuangkan ke sloki sudah dicampurkan dengan obat tidur. Saya terus asyik minum sambal terus bercakap-cakap dan bercanda dengan yang lain, sampai tiba-tiba saya tak sadarkan diri
Esok harinya, saya terbangun dalam kaget luar biasa. Saya tersadar hanya berdua dengan mantan saya di dalam kamar dengan keadaan tidak berbusana, tertutup selimut.
Rasa kalut langsung menjadi-jadi. Mendadak otak saya seperti benang kusut. Saya tak bias berpikir dengan baik. Dalam amarah, saya langsung pulang ke rumah, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Sesampainya di rumah saya hanya sanggup menangis sejadi-jadinya.
Herannya, setelah kejadian mengerikan tersebut, masih ada banyak percakapan dengan dia, dan lebih bodohnya lagi, saya merasa tak mampu melepaskannya.
“Gue ini udah di-unboxing, udah ga berharga. Terus kalo gue lepas ini cowo, emang ada cowo lain yang bisa terima kalo gue udah ga virgin?”
Pikiran itu terus bergelayut di otak saya ketika itu. Saya tak mampu putus. Saya tak berani putus. Akhirnya saya pun bertahan, berusaha memaafkan, dan melanjutkan hubungan kami.
Sekitar akhir Mei, dia pamit untuk pulang ke kampungnya bersama keluarganya, merayakan lebaran. Tentu saya tidak melarangnya sama sekali. Namun setelah itu dia menghilang selama tiga minggu, tanpa kabar sama sekali, hanya dengan meninggalkan alasan susah sinyal. Saya tak terima. Setiap saya chat melalui Whatsapp, masih ada tanda centang dua. Artinya dia masih punya sinyal setidaknya untuk membaca dan merespons chat kiriman saya barang sedikit saja.
Tiga minggu meninggalkan saya tanpa kabar, saya melaluinya dengan perjuangan yang terus berlipat-lipat. Tuhan mengizinkan saya melalui banyak pergumulan yang memilukan hati. Dua yang paling berdampak pada diri saya adalah ketika ada anggota keluarga yang meninggal dan ketika saya mengalami percobaan pemerkosaan oleh orang yang tidak saya kenal dalam perjalanan menggunakan angkutan umum.
Semua pergumulan saya selama tiga minggu itu terus-menerus saya laporkan kepadanya melalui chat, bahkan lengkap dengan foto keluarga saya yang meninggal, pun foto tangan saya yang sempat sobek karena berusaha melindungi diri dari percobaan pemerkosaan. Hasilnya nihil. Tidak ada respons sama sekali darinya.
Tiga minggu genap berlalu, tanpa disangka dia membalas chat di hari Jumat. “Aku sudah di Jakarta”.
Terasa begitu campur aduk saat melihat notifikasinya. Akhirnya saya membalas bahwa saya ingin menemuinya.
Namun ternyata saya sudah bukan lagi prioritasnya. Dia lebih memilih untuk bertemu dengan teman perempuannya.
Hati saya hancur berkeping-keping. Saya kecewa sekali. Hari itu adalah tiga hari sebelum keberangkatannya ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan S2. Mengetahui akan pergi jauh, bisa-bisanya dia pulang kampung hingga tiga minggu, tanpa kabar sama sekali. Saya bahkan terus menghubungi dia dan “melaporkan” segala yang saya alami. Namun saat kembali, bisa-bisanya dia lebih memilih menghabiskan waktu dengan perempuan lain.
Coba tempatkan diri kalian di posisi saya. Kira-kira bagaimana rasanya? Sakit sekali. Rasa sakit yang begitu memilukan. Rasa sakit yang akhirnya membuat saya tidak sanggup lagi. Saya pun memberanikan diri untuk memutuskan hubungan.
Setelah hubungan ini putus, semua rasa marah, sedih, kecewa, kehilangan keberhargaan diri maupun kehilangan semangat hidup bercampur menjadi satu.
Yang paling menyakitkan, dia adalah pacar pertama saya, dan dia bahkan memutuskan ikut kelas katekisasi untuk menjadi orang Kristen. Saya berpikir bahwa kami masih bisa terus berhubungan untuk waktu yang sangat lama.
Tapi semuanya langsung hilang begitu saja.
Pergumulan saya berlipat-lipat dengan keadaan skripsi saya, yang dalam penulisan menjadi begitu terhambat. Saya tak sanggup berkonsentrasi. Ini semua sudah terlalu berat untuk saya.
Semua ini begitu berat, Saya tak sanggup. Saya memilih untuk mencoba mengakhiri hidup, dengan cara yang sama persis yang dilakukan mantan saya. Kali ini saya menenggak minuman beralkohol yang kandungan alkoholnya mencapai 50% beserta obat tidur satu strip yang saya habiskan.
Saya tak sadarkan diri.
Namun esok paginya, saya terbangun, masih hidup. Benar, terbangun seperti baru saja melalui tidur yang lama akibat bergadang, namun selebihnya tidak terasa ada apa-apa.
Mengapa saya masih diijinkan hidup?
... (bersambung)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: