"Kebijaksanaan adalah seni membuat titik tanpa membuat musuh." - Isac Newton
Pada suatu sore hari di asrama mahasiswa jurusan teologi, saya memainkan gitar di kamar dan menyanyikan yang berjudul Benci untuk Mencinta. Lagu yang begitu popular ketika saya duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) ini dinyanyikan oleh grup band Naif (terlampir lagu video mereka). Lagu ini memiliki lirik sebagai berikut:
“Oh... betapa 'ku saat ini, 'ku cinta untuk membenci... membencimu”
Bagian reffrain-nya menjelaskan bahwa untuk mencintai seseorang, pasti ada kebencian yang mengawalinya terlebih dahulu—atau setidaknya itulah yang terlihat. Kemudian saya berpikir, "Apakah kita harus membenci orang-orang karena sesuatu hal?" Pertanyaan ini muncul karena kata "membenci" maupun ungkapan "aku benci kamu" itu cukup sering saya dengar di mana saja, termasuk di kalangan kaum muda. Pertanyaannya, mengapa harus demikian? Mungkin salah satu alasan yang tampak logis adalah jika terjadi sesuatu yang mengarah pada pendapat yang berbeda, tidak jarang kondisi tersebut menjadikan diri kita berkeinginan untuk berpisah dari orang yang bersangkutan—bahkan bisa menjadi musuh.
Ada yang tidak asing dengan lagu ini?
Apa, sih, arti dari kata "musuh"? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musuh—yang merupakan kata nomina (kata benda)—mengarahkan kepada kata "lawan berkelahi, bertengkar, berperang, bertanding, dll." Sebagai gambarannya, saya memiliki tiga saudara laki-laki dan saya anak keempat. Ditambah lagi, saya anak perempuan tunggal di dalam keluarga saya. Karena itu, sering kali saya bertengkar dengan kakak-kakak hanya karena hal yang begitu sederhana. Contoh yang nyata seperti terjadinya perbandingan dan dianggap rendah, saya merasa setiap pendapat yang berikan namun tidak dianggap bahkan dikatan "Apaan sih, kamu tuh masih kecil, gausah ikut campur". tetapi seolah-olah hal tersebut adalah permasalahan yang terasa besar—apalagi sampai bermusuhan dan tidak mau berkomunikasi.
Menariknya, pembahasan tentang sikap terhadap musuh juga tercatat di dalam Alkitab, lo, bahkan out of the box banget. Out of the box-nya adalah kalau biasanya kita enggak akan berbicara pada musuh kita—yang mungkin bisa jadi kita mencelakakan dia—di Alkitab justru berbeda. Coba, deh, kita lihat di Lukas 6:27-36, kisah yang kita kenal bahkan mungkin kita bisa hapal disalah satu bagian perikop ini. Yesus menegaskan bahwa kita haruslah mengasihi musuh kita. Bahasa aslinya, agapate, yang diartikan sebagai “as do[ing] good”. Meskipun Yesus berkata demikian dan memberikan contoh yang sempurna dalam mengasihi musuh, kita harus mengakui bahwa hal tersebut mungkin menjadi kesulitan bagi kita. Disadari atau tidak, musuh juga memunculkan luka batin, kepahitan, bahkan menjadi sampah dalam kehidupan kita. Bahkan ada kalanya kita bisa membenci seseorang tanpa mengenalnya terlebih dahulu karena kita "mentransfer" kebencian pada orang lain yang memiliki karakter atau penampilan seperti dirinya. Percayalah, kita memiliki "bagasi" masing-masing yang bisa berdampak pada relasi kita dengan orang lain di mana saja jika tidak segera menyadari dan membuang kepahitan yang dipendam. Sayangnya, kondisi ini sudah kadung membuat kita "nyaman", dan untuk membereskannya membutuhkan waktu. Lalu, bagaimana? Tidak bisakah jika kita bersikap "bodo amat" saja kalau seperti ini?
Photo by Pro Church Media on Unsplash
Lukas 6:27-36 ini adalah salah satu bagian Alkitab yang mengajarkan kita agar menjadi orang Kristen yang berbeda dari orang lain, yaitu mengasihi musuh dengan tulus dan tanpa pamrih—dan hanya kasih Tuhan yang mampu melakukannya. Ayat 37 berkata demikian:
Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.
Kata "murah hati" adalah disposisi batin yang menuntun seseorang untuk menyelamatkan atau membantu orang lain. Murah hati mencerminkan pengalaman paling awal Israel tentang Tuhan dan dianggap sebagai salah satu karakteristik esensial Tuhan. Rahmat Tuhan tidak mengenal batas. Seperti Allah yang terikat oleh perjanjian belas kasih dengan umat-Nya, demikian pula manusia harus berbuat belas kasihan kepada orang-orang yang tertindas, orang asing, yatim piatu, dan janda. Hal yang sama ditegaskan oleh Yakobus 1:27. Tentu saja bukan berarti kita mengabaikan orang lain yang tidak termasuk kaum marginal; ingat: kita dipanggil untuk mengasihi siapa saja tanpa terkecuali, termasuk musuh kita. Musuh di sini bisa saja orang tua atau kerabat yang melakukan kekerasan (baik secara fisik, verbal, bahkan seksual) berulang kali, pasangan yang berselingkuh selama bertahun-tahun dan sudah kita ketahui tanpa sepengetahuannya, teman yang mengkhianati kepercayaan kita, atau orang-orang yang kita anggap "kompetitor" di dalam studi maupun pekerjaan. Namun, mana yang lebih terasa melegakan? Memandang mereka sebagai orang yang dikasihi Tuhan dan tidak lebih baik daripada kita (toh kita sama-sama berdosa meskipun berbeda bentuknya dari mereka), atau menumbuhkan keinginan untuk "menang" jika mereka menderita?
Berkaca dari refleksi di atas, saya jadi melihat kehidupan bersama teman-teman seangkatan kuliah saya. Kami berasal dari tempat yang berbeda-beda, yang sebenarnya lebih mudah munculnya suatu permasalahan—entah karena logat yang berbeda, nada yang berbeda, dan sebagainya. Ketika memasuki dunia perkuliahan di STT (Sekolah Tinggi Teologi), saya merasa saya mudah sekali untuk terpancing dalam emosi. Seperti yang saya jelaskan, saya kurang suka terhadap teman-teman saya yang menggunakan nada dalam perbincangan dengan nada yang tinggi. Saya memilih untuk menjauh dari mereka agar terhindar dari konflik atau kesalahpahaman. Namun, seiring berjalannya waktu, saya belajar di STT Aletheia mengenai etika Kristen, yang menyadarkan saya bahwa menjadi orang percaya tidak bisa menghindar dari masalah. Syukur pada anugerah Allah, kita bisa melewati semua masalah itu bersama Kristus. Akhirnya, saya memiliki cara pandang yang baru, yaitu bahwa di tengah perbedaan merupakan cara Tuhan untuk membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik dan mengasihi orang lain dengan tulus.
Mari kita merefleksikan teks yang telah didalami ini: Apakan saat ini kita sedang bermusuhan dengan orang lain? Sekali lagi, Tuhan mengingatkan melalui Lukas 6:27-36 bahwa kita harus mengasihi musuh kita dengan kasih-Nya. Tentu kita tidak akan bisa melakukannya tanpa mengalami kasih-Nya terlebih dahulu (atau hanya sebatas tahu saja). Namun, melalui pengalaman yang menyadarkan bahwa Tuhan mengasihi kita tanpa syarat, kita memiliki Dia sebagai teladan dalam kasih, sehingga kita dimampukan-Nya untuk mencintai tanpa membenci mereka. Kiranya Tuhan berkenan mengaruniakan hikmat-Nya yang melampaui akal pikiran manusia kepada kita, sehingga—bersama-Nya—kita dapat menyelesaikan segala permasalahan dan menjadi berkat bagi semua orang.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: