Akhir tahun 2020 lalu, saya menonton sebuah film pendek Indonesia di YouTube. Film itu berjudul “Kisah di Hari Minggu”. Awalnya saya bingung dengan film ini. Durasi hanya 5 menit, suasana sepi, minim dialog. Walaupun demikian, ada hal menarik yang hendak diungkapkan secara mendalam.
In collaboration with Kinanti Dea
Link short movie :
https://www.youtube.com/watch?v=BJ2iBnJZwmI&t=35s
Film mengisahkan satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Pagi itu, ibu sedang membantu persiapan anak bungsunya yang akan berangkat sekolah. Sambil menyiapkan sarapan untuk Si bungsu, ibu juga menyuruh si sulung untuk mandi. Ketika ingin menghampiri Si sulung, ibu melihat suaminya yang masih tertidur. Ibu berusaha untuk membangunkannya, memerintahkan untuk pergi bekerja serta mengantar Si bungsu ke sekolah. Kemudian ibu menghampiri Si sulung dan melihat Si sulung lari hendak pergi memancing. Ibu berusaha untuk mengejar tetapi kehilangan jejak. Ibu kembali kerumah dan mendapati suaminya masih tertidur. Merasa kesal, ibu kemudian mengambil air dan menyiramnya. Setelah itu, ibu pergi mengantar Si bungsu ke sekolah.
Sementara itu, sang suami bangun, bersantai sambil menikmati secangkir kopi dan rokoknya. Tak lama kemudian, Si bungsu kembali ke rumah disusul dengan ibu dibelakangnya. Memandangi suaminya yang sedang bersantai, ibu pergi ke belakang dengan diam seribu bahasa. Suaminya juga diam tak memberi respon apapun, kemudian pergi mencuci piring. Melihat suaminya sedang mencuci piring, ibu menghampiri dan membantunya.
Cerita film ini sangat singkat. Tetapi ada satu hal yang terlewat, bahwa setting waktu film ini adalah di hari Minggu pagi! Lantas kita akan bertanya, “ngapain buru-buru sampai nyiram suami, padahal ini hari Minggu?” Ceritanya agak konyol memang. Tetapi setidaknya ini membuat saya secara pribadi berefleksi tentang satu hal.
Kondisi Indonesia mulai menunjukkan adanya pemulihan pasca pandemi COVID-19. tetapi varian Omicron tetap menghantui kita, apalagi varian baru ini telah hadir di Indonesia. Sehingga kemungkinan untuk kembali ke kehidupan normal pra-pandemi atau kembali “terkurung” di rumah juga tetaplah ada.
Film “Kisah di Hari Minggu” seolah mengingatkan saya akan realitas kehidupan kita sebelum pandemi. Kita selalu disibukkan dengan berbagai aktivitas baik dalam hal pekerjaan, sekolah, dan rumah tangga. Aktivitas tersebut cenderung menjadi kebiasaan atau rutinitas yang wajib dilakukan setiap harinya. Maka bagi kebanyakan orang, hari Minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu. Sebagian orang akan menggunakan waktu libur tersebut untuk mencari hiburan atau sekedar istirahat dari lelahnya beraktivitas selama satu minggu penuh. Namun, bagi sebagian orang yang lain, mungkin hari Minggu tidak ada bedanya dengan hari-hari biasanya. Hari Minggu tetap terasa seperti hari Senin-Sabtu. Seolah-olah hidup ini dipakai untuk menjalani rutinitas sehari-hari.
Pelayanan di gereja juga turut terlibat. Sadar atau tidak sadar, kita mengeluhkan tentang pelayanan kita yang itu-itu terus.
“Minggu depan tugas lagi nih”
“Aku lagi, aku lagi… Ga ada orang lain apa?!”
Kata-kata ini seringkali kita ucapkan bukan? Tidak salah memang. Tetapi kita perlu menyadari bahwa kata-kata diatas dapat menjadi tanda-tanda kecil yang mengindikasikan bahwa sebenarnya pelayanan yang kita lakukan bisa jadi telah kehilangan makna sehingga menjadi sebuah rutinitas belaka.
Melalui film pendek tersebut, kita diajak merenungkan kembali pertanyaan ini, apakah aktivitas yang kita lakukan setiap harinya hanya sebagai rutinitas belaka atau sebagai wujud persembahan kita kepada Tuhan? Hidup di dunia memang tidak akan ada puasnya. Kita selalu tergoda oleh hal-hal duniawi. Pekerjaan bagus, jabatan tinggi, banyak uang, dsb. Hal itulah yang seringkali membuat kita melupakan kewajiban yang sesungguhnya, yaitu beribadah kepada Tuhan dan menikmati apa yang diberikan Tuhan untuk kita.
Dalam hukum Taurat, Tuhan memberi hukum kepada bangsa Israel untuk menguduskan hari Sabat (Keluaran 31:12-17). Bukan tanpa alasan. Tuhan menginginkan umat-Nya untuk datang dan bersekutu dengan-Nya walaupun hanya sehari saja. Tuhan juga menginginkan umat-Nya beristirahat sejenak dari segala rutinitas yang telah dilakukan selama enam hari dalam seminggu. Di waktu ini umat diajak untuk merefleksikan kembali karya Allah yang terjadi selama mereka beraktivitas.
Namun hukum ini mengalami pergeseran makna. Hukum yang seharusnya memberi kebebasan dari keruhnya rutinitas justru menjadi rutinitas baru dimana orang-orang ‘wajib’ melaksanakan hari Sabat dengan tidak melakukan apa-apa, tanpa mengenal makna aslinya. Inilah yang kemudian didobrak oleh Yesus dengan berbagai peristiwa mujizat yang dilakukan-Nya dan saat murid-murid-Nya memetik gandum pada hari Sabat (Markus 2:23-28). Yesus kembali mengingatkan bahwa hari Sabat diberikan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Ini berarti Tuhan ingin agar kita memanfaatkan hari Sabat itu untuk beristirahat dan bukan kita menjadi terkekang oleh tuntutan Sabat itu sendiri.
Kita juga perlu untuk mengupgrade mindset kita tentang rutinitas yang kita lakukan tiap harinya dengan cara berefleksi. Ambil satu waktu dimana kita berhenti melakukan aktivitas rutin. Lalu kita merefleksikan apa yang kita lakukan saat ini, apakah aku melakukan kegiatan dengan motivasi yang tepat?
Sudah selayaknya segala sesuatu yang kita kerjakan sebagai cerminan kasih Allah serta wujud syukur kita kepada Tuhan atas kelimpahan berkat yang telah kita terima. Entah kita akan kembali ke kehidupan normal atau kembali menjalani masa PPKM, menghidupi rutinitas sebagai karya kasih Allah perlu untuk diterapkan terus menerus. sehingga kesibukan kita baik di masa normal maupun saat pembatasan tidak menjadi rutinitas belaka yang tidak bermanfaat.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: