Are our faiths a mere spectacle?
Beberapa waktu yang lalu, di tempat saya berjemaat, kami mengadakan proker tahunan yang berjudul Pilgrimage. Di tahun-tahun sebelum pandemi, Pilgrimage diadakan offline dengan kegiatan mengunjungi tempat ibadah kawan-kawan yang beragama lain untuk berdialog. Tahun ini, Pilgrimage diadakan secara hybrid, proses produksi Pilgrimage dilakukan secara offline, dengan luaran video untuk platform online. Pembahasan Pilgrimage tahun ini adalah ‘Internet Religion’. Menurut saya pembahasan yang sangat pas dengan keadaan agama, tidak hanya Kristen di masa pandemi. Perubahan yang mengharuskan sebuah pengalaman religi yang bertahun-tahun dirasakan secara offline untuk berpindah menjadi online lewat internet.
Internet tergolong teknologi yang cukup baru. Sebelum adanya internet, cara termudah untuk menghubungi seseorang adalah melalui telepon atau SMS. Rata-rata cara orang-orang berkomunikasi melalui kedua fitur tersebut masih sama. Akan tetapi ada satu fitur internet yang baru dan berbeda, yaitu media sosial. Sebelum media sosial, tidak ada platform yang dapat dengan akurat memetakan relasi satu orang dengan lainnya. Apa yang kita suka, siapa teman kita, siapa kita semua terpampang nyata dalam media sosial. Akan tetapi media sosial, dan internet secara keseluruhan hanyalah sebuah mediator, hubungan-hubungan yang terjalin melalui media sosial bukanlah hubungan langsung. Walaupun terlihat sepele, mediator dalam relasi membentuk relasi itu sendiri.
Mari kita menilik relasi antar manusia dalam sosial media. Akan masuk akal jika kehidupan online seseorang berbanding lurus dengan kehidupan offline-nya. Namun yang sering kita temukan adalah hal itu tidak selalu benar. Mungkin kita memiliki teman yang malu, jarang bicara dalam keseharian namun, dalam media sosial ia menjadi orang yang berbanding terbalik dan begitu pula sebaliknya. Kehidupan offline dan online yang tidak sejalan adalah salah satu contoh yang memperlihatkan bahwa, media sosial hanya menunjukkan sebuah segmen kecil dari kehidupan. Interaksi yang Anda lakukan kepada teman tersebut offline dan online akan berbeda
Dalam Pilgrimage, kawan-kawan menceritakan tentang bagaimana mereka menggunakan media sosial, ada banyak jawaban, seperti berinteraksi dengan teman, mem-post foto-foto kegiatan sehari-hari dan lain-lain, bahkan salah satu dari mereka meminta tolong untuk teman-temannya untuk mereview foto yang akan ia post. Jawaban yang cukup beragam namun memiliki satu kesamaan, mereka memilah dan memilih citra yang ingin mereka berikan dalam media sosial mereka. Seperti halnya kurator seni memilih seni yang cocok dengan tema museum, kawan-kawan pengguna media sosial memilih gambar yang cocok dengan citra yang ingin mereka tampilkan, how we appear to others.
Ketimpangan antara di online dan offline mengingatkan saya tentang buku Guy Debord tentang Society of Spectacle. Sebuah Spectacle adalah sekumpulan gambar yang memediasi hubungan dan interaksi antar manusia. Sekumpulan gambar yang dimaksud tidak hanya berupa satu postingan saja namun seluruh gambar yang ada di Internet, baik dari perorangan maupun institusi. Gambar-gambar tersebut, yang merupakan aset utama media sosial, menjadi mediasi relasi antar manusia. Relasi kita kini hanya sekedar “apakah saya sudah post di Instagram hari ini?” atau “apakah saya sudah memberikan like ke post teman saya?” Interaksi kita sudah tereduksi dan bergantung pada fitur-fitur media sosial.
Salah satu kalimat yang ditulis beliau adalah “as so the industrial revolution degrades being into having, the post-industrial world further degrades having into appearing.” Debord tentunya tidak membicarakan internet dikala itu, namun membicarakan tentang awal mula pembangunan ekonomi kapitalis yang banyak menggunakan iklan-iklaan berbasis gambar. Maksud Debord sebagai “being, having and appearing” adalah adalah keadaan manusia dalam masyarakat direduksi dari keadaan being yaitu manusia seutuhnya, mengalami dan menjalani dunia dengan sepenuhnya, menjadi having yaitu keadaan dimana manusia berkeinginan memiliki barang yang tidak mereka butuh, dan akhirnya menjadi appearing yaitu sekedar terlihat, membangun citra mereka dalam spectacle.
Internet Religion adalah pengalaman religi yang termediasi oleh internet, dan seperti yang telah dijelaskan oleh Debord, mediasi ini dibayar dengan hilangnya authenticity (ketulusan, kebenaran) suatu pengalaman. Pengalaman religi yang kita dapatkan melalui media sosial akan melalui reduksi, dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah appearance, hanya sekedar citra yang terputus dari kenyataan. Ibadah hanya menjadi sebuah spectacle, sebuah tontonan dan menjadi komoditas lainnya.
Lalu, apakah internet buruk? Not really.
Internet adalah alat, walaupun alat yang bias, masih dibutuhkan, tidak ada bisnis atau institusi manapun yang akan bertahan hidup tanpa internet, termasuk gereja. Relevansi gereja dan agama akan bergantung kepada apakah gereja mampu mengikuti perkembangan zaman, gereja tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari kemajuan zaman. Akan tetapi dengan mengikuti tren internet, gereja beserta orang-orangnya harus berbahasa kapitalis dan tunduk pada konstruksi kapitalis, dan pada akhirnya mengalami degradasi yang sama dengan masyarakat kini.
Mungkin ini yang dimaksud Tuhan ketika Ia berfirman janganlah kamu serupa dengan dunia ini. Jika kita mengikuti dunia maka, kita ikut mereduksi iman kita hanya akan sebatas appearance dan ibadah hanya sebatas tontonan. The best we can do is live, be around, be present in our everyday lives and communities. Lest we degrade our being into having and only into appearing.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: