Memang benar, jatuh cinta itu perasaan yang amat emosional.
Ah, Februari. Bulan kasih sayang, katanya. Saat yang tepat untuk bicara cinta serta romansa yang hadir di dalamnya, katanya. Ditambah lagi bulan penuh cinta tahun ini hadir saat gairah kisah cinta Dilan dan Milea sedang hangat-hangatnya. Kisah yang awalnya tidak kupahami sama sekali. Tenang saja, kini aku mengerti sedikit-sedikit karena begitu seringnya kutipan-kutipan dari kisahnya (termasuk plesetannya) dibicarakan di ranah publik. Aku belum seketinggalan zaman itu.
Sesungguhnya Februari selalu membuatku merasa canggung. Mohon maklum, aku adalah seorang yang sudah awet menjomblo, dengan berbekal sedikit percikan romansa di sana-sini. Percikan pertama ketika pertama kali naksir perempuan sewaktu kuliah, dan gagal ditindaklanjuti karena beda iman. Percikan kedua ketika pertama kali “menembak” perempuan satu setengah tahun yang lalu, dan gagal karena beda keyakinan. Aku yakin dengannya, sedangkan dia tidak yakin denganku. Saat inipun kita hanya menjadi teman dekat. No comment dulu untuk yang ini.
Singkatnya, aku adalah orang yang “aneh” saat bicara cinta. Bagiku jatuh cinta itu biasa saja.
Photo by micah. on Unsplash
Biasa saja apanya? Apa yang biasa dengan detak jantung yang menjadi cepat tak terkira saat akan menyatakan perasaan suka? Apa yang biasa dengan perasaan bergairah dan bersemangat ketika memikirkannya saat menjalani keseharian? Atau saat makan malam berdua? Atau bahkan saat berpegangan tangan untuk pertama kalinya?
Jangan salah, aku juga merasakan hal-hal serupa.
Aku pernah merasa begitu berbunga-bunga ketika jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seseorang yang begitu menggetarkan hatiku lewat tutur kata dan kehangatannya. Pernah juga aku dikagetkan oleh pesan singkat darinya yang menyemangati, ketika aku sedang bingung dalam persiapan tes, beberapa jam sebelum Ujian Tengah Semester. Aku juga tahu rasanya berdebar-debar ketika bermain ke rumahnya dan disambut hangat oleh ibunya. Akupun pernah merasakan pahit ketika relasi menjadi dingin, yang entah bagaimana kami berdua saling mengurangi intensitas dalam berkontak.
Aku juga merasakan takut dan tegang ketika tiba-tiba hatiku memberanikan diri untuk menyatakan rasa suka kepada seseorang. Aku merasakan suara yang bergetar ketika aku mengajaknya berdoa dan memimpinnya dalam doa untuk menggumulkan hubungan kami berdua. Perasaan galau yang amat sangat dalam di hari-hari menunggu jawaban darinya. Perasaan semangat ketika dalam interaksi sehari-hari, dia menunjukkan sinyal untuk menjawab “iya”. Perasaan getir ketika mengetahui jawabannya adalah “tidak” dan aku tetap menjadi teman akrabnya. Perasaan cemburu ketika akhirnya dia berelasi dengan seorang lain yang lebih mantap dalam hal berkomitmen.
Photo by William Recinos on Unsplash
Mungkin sejarah romansaku singkat, membosankan, dan beberapa orang akan menyebutnya menyedihkan. Namun, sungguh, aku pernah melaluinya dan sudah berdamai dengan perasaan-perasaan tersebut. Meskipun begitu, tentu saja perasaan-perasaan itu tetap terngiang dalam ingatan ketika aku memilih setia melajang dulu sambil membuka diri dalam relasi pertemanan. Memantapkan diri dulu sebelum memasuki sebuah relasi yang lebih jauh, pikirku.
Semua pengalaman yang mengena di hatiku itu malah makin membuatku yakin bahwa memang, mengutip judul lagu sebuah grup musik, “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”. Jatuh cinta yang sifatnya romantis itu alamiah dan normal, terjadi pada sebagian besar manusia sebagai suatu keadaan ketika kita dimabukkan oleh reaksi biokimia yang unik dan tak tergambarkan. Banyak dari kita tentu pernah tergila-gila pada seseorang, lalu menindaklanjutinya sebagai bukti bahwa kita mencintainya. Dan bila memungkinkan, mulai menjalin relasi yang konkrit.
Masalahnya, berapa banyak dari kita yang membiarkan diri mabuk di dalamnya sehingga mengambil keputusan tidak logis? Berontak kasar melawan orang tua, menyingkirkan secara lancang relasi sebelumnya, mengorbankan sekolah, menelantarkan karir, atau bahkan meninggalkan Tuhan. Semua dikarenakan manifestasi dari reaksi biokimia bernama “jatuh cinta”.
Memang benar, jatuh cinta itu perasaan yang amat emosional. Karena itu nikmatilah. Hayatilah. Biarkanlah bertumbuh secara organik sesuai kodratnya. Namun demikian marilah kita juga belajar dari situ. Belajar mengelola hati kita. Belajar mengendalikan segala nafsu emosional yang menggebu-gebu. Belajar tidak membiarkan perasaan hati mengambil alih kemampuan berpikir. Perasaan itu adalah sesuatu yang normal, yang dialami sebagian besar manusia. Tidak perlu didramatisir secara berlebih, seperti di dalam tontonan dan bacaan romantis yang ramai digandrungi .
Namun demikian, syukurilah perasaan itu, bahwa ada hasrat dalam diri kita yang mengasihi seseorang secara spesial. Bersyukurlah bahwa kasih Allah yang menggebu-gebu kepada kita ternyata bisa direfleksikan dalam versi yang lebih sederhana. Tapi seperti kasih Allah kepada kita, biarlah kasih itu menjadi kasih yang adil, menuntun, sekaligus berkorban dalam bentuk yang baik dengan sebuah tujuan; untuk menjadikan pihak yang dikasihi menjadi lebih baik sebagai pribadi yang utuh. Kendalikanlah perasaan jatuh cinta dalam permohonan kepada pimpinan Tuhan, supaya termanifestasi dalam tindakan yang membangun.
Photo by Ben White on Unsplash
Terlebih lagi, biarlah kita belajar dari kasih Allah dalam hal komitmen. Dari-Nya kita akan mengerti bahwa kasih yang agung adalah kasih yang mau berkomitmen dalam sebuah ikatan yang hangat, intim, dan rela berkorban satu sama lain. Lewat perbuatan kasih yang melampaui batas ruang dan waktu. Tidak salah ketika seorang temanku yang akan menikah berbicara tentang betapa mudahnya jatuh cinta namun betapa sulitnya menindaklanjuti dalam komitmen. Itu juga sedang menjadi pergumulanku saat ini.
Jadi, cintailah seseorang, berkasih-kasihlah, bermabuk-mabuklah dalam perasaan jatuh cinta, namun mari tetap ingat bahwa itu semua fana dan “biasa saja”. Satu yang luar biasa adalah ketika lewat perasaan jatuh cinta kita bisa belajar mengolah rasa menjadi karsa yang memperbaiki diri. Karsa yang juga mengajak si dia untuk semakin mencintai Pribadi yang telah mencintai kita terlebih dahulu.
Mungkin kita memang perlu “jatuh” cinta untuk kemudian bangkit, belajar darinya, dan membangun cinta yang realistis namun kokoh dalam pimpinan-Nya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: