Cinta yang kita berikan kepada orang lain bukan berasal dari terpenuhinya syarat dan ketentuan kita, melainkan kesediaan untuk merangkul dan menerima segala keterbatasan dari orang lain
In collaboration with Kinanti Dea
Disclaimer : Karena konten musik mengandung unsur vulgar, maka penulis menyensor judul lagu dan tidak menampilkan lirik dari lagu tersebut demi kenyamanan bersama.
Pengguna TikTok pasti tidak asing dengan music video (MV) satu ini: Build a B*tch. Single terbaru dari Bella Poarch ini menghiasi konten-konten TikTok sejak Mei kemarin hingga saat ini. Bahkan versi remix-nya pun sudah banyak bertebaran.
MV lagu ini menceritakan sebuah pabrik yang dapat memproduksi wanita. Wanita-wanita tersebut diciptakan sesuai dengan keinginan para laki-laki seperti halnya warna kulit, warna rambut, tinggi badan, dan sebagainya. Disebutkan dalam lirik lagu, seorang laki-laki bernama Bob telah menghancurkan hati Bella. Bella merupakan wanita dari hasil produksi pabrik tersebut dan merupakan hasil dari permintaan Bob. Awalnya Bob sangat menyukai Bella, namun lama-kelamaan Bob merasa tidak puas lagi dengan Bella. Bob merasa bahwa ada banyak bagian yang hilang dari Bella sehingga perlu untuk diperbaiki.
Itulah alasan Bob mengembalikan Bella ke pabrik wanita tersebut, tetapi lebih dari itu, Bob juga menginginkan wanita yang baru dari pabrik tersebut. Walaupun Bella diciptakan dari sebuah pabrik, tetapi ia juga memiliki perasaan. Melihat hal itulah Bella merasa sakit hati. Hingga akhirnya Bella keluar dari alat produksi tersebut, karena ada laki-laki lain yang menginginkannya.
Karena masih sangat marah, ia kemudian menghampiri laki-laki tersebut dan memukulnya hingga jatuh pingsan. Bella juga mengambil sebuah kapak yang ia gunakan untuk menghancurkan mesin produksi wanita sehingga mesin tersebut mengalami kerusakan dan menyebabkan tidak dapat berfungsi dengan baik. Bella mengeluarkan secara paksa wanita-wanita yang masih dalam proses produksi dengan menarik alat pengontrolnya. Bersama para wanita tersebut, Bella memorak-porandakan pabrik hingga hancur.
Lagu ini seakan hendak menceritakan realitas kita pada saat ini, dimana eksistensi manusia secara fisik menjadi sebuah kriteria dalam menilai seseorang. Contohnya saja dalam hal berpacaran. Banyak anak muda yang berkata seperti ini:
“Cinta itu ga mandang fisik.”
“Gapapa ga goodlooking, yang penting sayang dan perhatian.”
Padahal realitasnya, disadari atau tidak, sebenarnya kita telah menetapkan kualifikasi kita sendiri tentang pasangan yang kita harapkan. Entah itu warna kulit, tinggi badan, postur tubuh, harta benda, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Standar-standar ini terlihat memandang hal-hal jasmani dengan sangat jelas. Maka ada kriteria-kriteria lain seperti setia, seiman, mau menolong saat susah, peka, dan sebangsanya. Standar-standar ini kelihatannya baik, karena tidak terlalu memandang hal-hal jasmani seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, jika kita mengharapkan semua sifat-sifat positif ada dalam pasangan, bukankah kita juga sedang membuat kualifikasi yang tidak ada bedanya dengan kriteria fisik semata?
Maka, tak heran banyak anak muda yang tidak segera mendapatkan pasangan, bahkan di umur yang relatif sudah tidak muda lagi. Bukannya tidak laku atau tidak ada jodoh, tetapi karena terlalu banyak standar dari mereka yang mendiskualifikasi calon pasangan. Akhirnya, standar-standar ini menggagalkan terbangunnya hubungan.
.
Apakah memiliki standar itu salah? Tentu saja tidak. Kita sebagai manusia yang berakal budi dan berperasaan tentu mengharapkan sesuatu yang ingin kita dapatkan. Misalnya, “Aku ingin bisa memborong BTS Meal kayak Sisca Kohl," atau, “Aku ingin pacar kayak Lisa Blackpink.” Harapan semacam itu merupakan sebuah kewajaran dan tidak keliru, tetapi akan menjadi demikian jika kita menjadi terjebak dalam idealisme yang tinggi sampai kita melupakan realita yang ada dan menjadi fanatik.
Tidak hanya persoalan kasih yang khusus untuk pasangan, ada pula kasih terhadap orang lain secara general, seperti terhadap keluarga, teman-teman, lingkungan kerja, tetangga, penyandang disabilitas, dan lain-lain. Kami yakin Ignite People sepakat jika mereka harus diterima dan dikasihi. Pertanyaannya, apakah kita sungguh-sungguh mengasihi mereka?
Realitasnya, kita masih mengasihi mereka dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Namun, ada yang lebih ironis lagi: semakin sering memandang kondisi fisik dan perilaku orang lain, kita sampai lupa berpikir apakah Tuhan juga sama seperti kita. Ya, kita lupa apakah Dia mengasihi kita dengan syarat dan ketentuan yang dimiliki-Nya?
Tidak seperti manusia yang cenderung menempatkan kualifikasi pribadinya untuk menerima orang lain, Allah yang kita kenal dan kita sembah tidak pernah mempunyai kualifikasi apapun untuk menerima dan melayakkan kita untuk menyembah-Nya. Dia menerima penyembahan dari anak-anak dysfunctional family (tidak hanya keluarga yang bercerai), sama seperti Dia menerima penyembahan dari anak-anak yang memiliki keluarga yang berfungsi dengan sehat. Ia memberi makan orang tunawisma, sama seperti Ia memberi makan orang yang memiliki banyak rumah. Dia menolong penyandang disabilitas untuk hidup, sama seperti Dia menolong orang normal untuk hidup.
Seorang teolog bernama Nancy Eiesland dalam karyanya yang berjudul The Disabled God mengatakan, Yesus Kristus yang merupakan Allah yang maha sempurna tidak datang menjadi manusia sempurna yang berbeda dengan manusia lain di bumi. Justru sampai kenaikan-Nya ke surga, Kristus menjadi manusia pada umumnya. Bahkan saat kebangkitan-Nya, Yesus menjadi “penyandang disabilitas” karena Dia membiarkan bekas lubang paku penyaliban tetap ada pada tangan dan kaki-Nya!
Apa yang bisa kita dapatkan dari teologi ini? Allah yang mewahyukan diri dalam Yesus sangat mengasihi kita umat manusia. Bahkan Dia turut mengalami dan merasakan segala macam penderitaan manusia, kecuali dosa (lihat Ibrani 4:15). Allah tahu bahwa kita tidak akan pernah menjadi manusia yang sempurna 100%, karena kita masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan baik secara fisik, psikis, dan sebagainya. Itulah sebabnya Allah tidak pernah menuntut kita untuk menjadi sempurna agar Dia bersedia menerima kita. Sebaliknya, Allah—melalui pengurbanan Kristus— menerima kita dengan segala latar belakang yang ada dengan kasih yang sejati dan Dia mengundang kita untuk merayakan eksistensi kita yang apa adanya ini ke dalam persekutuan bersama dengan Allah. Kasih ini juga seharusnya kita miliki sebagai anak-anak Tuhan yang diterima dan dikasihi oleh-Nya.
Belajar dari lagu terbaru dari Bella Poarch dan The Disabled God yang dicetuskan Nancy Eiesland, kita diajak untuk mengubah paradigma kita tentang orang lain. Mari kita menggeser syarat-syarat yang menjadi standar kita (apalagi jika itu tidak esensial) untuk menerima eksistensi orang lain selama ini dan menggantinya dengan kasih yang tulus dan tidak bersyarat. Kasih yang kita berikan kepada orang lain bukan berasal dari terpenuhinya syarat dan ketentuan kita, melainkan kesediaan untuk merangkul dan menerima segala keterbatasan dari orang lain. Kasih juga akan selalu diuji tanpa henti, karena kasih adalah proses kita menerima dan berjalan mengarungi hidup bersama Allah dan manusia dengan segala keberadaannya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: