Kalau aku terkena Covid-19, apakah itu adalah salahku? Bukankah Allah akan melindungi aku?
Secara jujur, sebenarnya, saya ingin menulis tulisan dengan tema yang lain, namun tampaknya, saya masih diperhadapkan dengan cukup banyak orang yang mempertanyakan otoritas Allah dalam masa pandemi COVID-19 yang tak terasa telah membersamai kita hampir dua tahun non-stop ini. Rasanya menarik jika kembali kita membuka salah satu tulisan yang saya gemari. Ayub!
Tokoh satu ini memang cukup saya kenal, dari tahun 2018 (atau bahkan 2017), saat saya baru saja pulih dari penyakit stroke yang menyerang, bahkan pada seorang Lukas yang hampir tidak pernah masuk ke rumah sakit. Dedikasi tertinggi saya, untuk Pdt. Surya S. Giamsjah. Ya! Pendeta saya sendiri yang membukakan pikiran dan mata saya yang tertutup tentang sikap Allah. Buku pertama yang ditugaskan ko Sur (panggilan akrab saya pada pak Surya) adalah The Disappointment with God tulisan dari Phillip Yancey. Lengkapnya, kalian bisa baca buku ini secara lengkap untuk memahami bingkai dari tulisan ini.
Kembali pada tokoh Ayub, tokoh, yang membuat pandangan teologis saya berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dahulu, saya selalu berpikir, bahwa “Tuhan akan selalu memberikan hal yang baik pada kita, jika kita turut dan bergantung pada Dia”, justru, lewat kisah Ayub, saya belajar, Tuhan ternyata “tidak sebaik” itu kawan.
Kitab Ayub memang sebuah tulisan kuno, yang mungkin sebagian orang enggan membacanya, karena terlalu tua, mungkin (?). Tetapi yang saya pelajari, renungkan, hingga sering dengungkan akhir-akhir ini, bahwa karya Allah dalam kisah Ayub ini unik. Penulis, yang mencoba menjabarkan kitab Ayub, Maire-Claire Barth-Frommel, adalah seorang teolog dan dosen dari STT Ambon, yang berusaha untuk mengupas habis Ayub dari sisi Alkitab dan pandangan teologisnya. Perdebatan tentang kitab Ayub, selalu berkutub pada dua hal yang pernah juga saya bahas di artikel lawas saya yang lain. Di tengah penderitaannya, Ayub selalu menganggap bahwa penderitaan datangnya dari manusia, akibat dosa, kelalaian, dan kesalahan, atau kejahatan yang kita lakukan, oleh karenanya, Allah berhak menghukum Ayub. Namun Ayub seringkali membela dirinya, dengan berkata bahwa dirinya tidaklah melakukan hal yang buruk. Justru, ia membela Tuhan mati-matian, bahwa Allah itu baik adanya. Lalu, apakah Allah itu jahat? Atau mungkin Allah salah alamat?
Saya ingin memulai dari dua ayat penting yang berkaitan dengan Allah di awal kitab Ayub. Keduanya adalah Ayub 1:12, serta Ayub 2:6, yang merupakan tanggapan Allah kepada Iblis, saat Iblis ingin mencobai Ayub. Jika melihat kedua ayat ini, rasanya jelas, bahwa memang Iblis yang memberikan ide untuk mencobai Ayub, tetapi, seakan berpihak kepada Iblis, saya pun melihat campur tangan Allah dalam keduanya, yaitu, persetujuan Allah, supaya Iblis boleh mencobai Ayub dengan memberikan batasan-batasan yang jelas. Kalau berhenti sampai pada titik ini, rasanya, memang Allah kita ini juga turut campur tangan dalam penderitaan yang Ayub alami saat itu, bukan? Pertanyaannya, apakah salah Ayub? Apakah Ayub pernah mencobai Allah? Jelas tidak, mari bergeser pada Ayub 1:1. Di sana jelas tertulis Ayub adalah seorang yang saleh, kok. Lalu mengapa Allah seakan membiarkan Iblis ‘menyerang’ Ayub dengan berbagai macam pencobaan? Apakah Allah salah alamat? Tentu tidak. Lalu mengapa? Jawabannya, bagi saya hanya satu, semua yang terjadi pada diri Ayub adalah di bawah kebijaksanaan Allah, yang sebagai manusia, dapat hampir saya pastikan, tidak pernah, dan tidak akan pernah memahami maksud, bahkan sedikit dari karya dan rencana-Nya untuk kita. Semua ada di bawah aturan, kontrol, dan bahkan rencana Allah. Dapatkah Allah, saat Iblis meminta izin untuk mencobai Ayub, menolak ide Iblis, dan tetap melindungi Ayub? Jelas bisa! ‘Kan Dia Allah, yang dapat melakukan segalanya tho? Dia, Allah yang memiliki kehendak murni pada diri-Nya, dan berhak untuk melakukan apapun yang seturut dengan kehendak, yang mungkin hingga saat ini, manusia akan selalu gagal dalam memahami Allah kita ini. Inilah apa yang kemudian oleh banyak ahli teologi, disebut sebagai Theodicy, semua hal, berada di dalam kehendak dan rencana Allah secara pribadi.
Lalu, mempersalahkan Allah dalam setiap tindakan kita? Tentu, hal itu juga keliru! Saya katakan keliru, karena, banyak orang lalu melupakan, bahwa Allah yang adil itu juga mengajar kita untuk berhikmat dan berpikir, memilih mana yang baik, dan yang tidak untuk kita lakukan tho? Jadi, menurut saya hindari dua hal ini: pertama, terlalu berpikir bahwa apa yang terjadi pada kita adalah bentuk hukuman Allah atas dosa-dosa kita, dan yang kedua, terlalu berpikir bahwa semua yang terjadi pada seseorang, adalah karena orang itu berbuat salah, misalnya, seseorang terkena Covid-19 dituduh, “Itu adalah hukuman Allah, akibat dia sering mengabaikan protokol kesehatan!”. Tetapi, pernahkah kita juga berpikir, bahwa saat seseorang menderita Covid-19, justru di dalamnya, juga terdapat rencana besar yang Allah buat bagi dia atau mereka? Sekali lagi, saya sepakat bahwa Allah itu baik, tetapi kita juga perlu ingat, bahwa Allah juga memiliki kehendak penuh, yang tidak dapat dan tidak akan pernah dapat kita intervensi SAMPAI KAPAN PUN! Kedua pandangan yang saya sampaikan di atas, ingin menunjukkan bahwa kita sebagai manusia sering kali gemar untuk mengintervensi rencana dan rancangan Allah. Atau secara lebih keras, saya mengatakan, KITA, MANUSIA, INGIN MENGATUR ALLAH! Mengatur, agar Allah memberikan berkat kepada mereka yang baik, dan memberikan hukuman kepada mereka yang salah. Siapa kita mampu untuk mengatur Allah sedemikian rupa? Ingat!
MYSTERIUM DEI! Ada wilayah yang menjadi misteri bagi kita, namun segalanya Allah-lah yang berencana. Baik di dalam kegembiraan, kesenangan, atau bahkan dalam kesusahan dan kesedihan, Allah-lah yang mengatur dalam kemisterian, dan ke-Maha-Kuasaan-Nya!
Jadi, melalui tulisan pendek ini, saya ingin kembali mengingatkan kepada kita, termasuk juga saya, bahwa segala hal yang terjadi dalam hidup kita, terjadi di bawah kendali dan otoritas Allah, Sang Pemilik Hidup kita, yang mungkin dapat kita terjemahkan, kita sedang dalam kendali Allah, dalam sukar, maupun dalam suka. Maka, marilah, kita menyadari kuasa, dan otoritas Allah itu, bebarengan dengan terus menggantungkan hidup kita pada otoritas Dia, Sang Pemilik Hidup! Amin!
LLC-Saat Harus Bergumul dengan Kehadiran Allah dalam Hidupnya
Nb: Judul artikel ini saya ambil dari sub-judul buku tulisan Barth-Frommel (2016).
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: