Marvel Cinematic Universe: Covid sebagai Cara Tuhan ‘Membunuh Aku’

Best Regards, Live Through This, 23 May 2021
“Pain will only leave once it has done teaching you.” - Bruce Lee

Apa lagi sih yang bisa ditulis dari Covid? Kayaknya sudah semua orang bikin cerita, ulasan, tips dan trik serta konten lain di Ignite tentang Covid. Jujur, gue sendiri ngerasa kebas, bosan. Kayak duduk lama-lama dan jadi kesemutan. Ga sakit, tapi ga ngerasa apa-apa juga. Gue mulai coba menulis artikel ini sudah dari November atau Desember, tapi enggak selesai-selesai karena ga ada inspirasi saja.

Desember itu ada rasa kalau pandemi ini akan berlalu bareng dengan 2020. Masyarakat internet kayaknya sudah benci banget sama 2020 sampai ada yang berpikir kalau Covid ini ya cuma bagian jelek dari 2020 saja. Tahun 2021 pasti selesai dan kita sudah bisa balik lagi ke kehidupan yang bener-bener normal. Tahun 2020 memang punya banyak hal yang enggak gue inginkan; dari peer-pressure, masalah finansial, pertemanan, hingga gue kehilangan 14 kenalan yang meninggal di tahun 2020. Di kantor, berita orang meninggal, baik karena Covid maupun bukan, sudah jadi bahan obrolan biasa. Dari awalnya pada tabu untuk dibicarakan karena takut hingga sekarang kita ngobrol tentang itu sambil sruput kopi. “Kasihan yah...” sudah jadi kata-kata yang biasa bahkan cenderung meaningless. Ga berarti, ya Cuma ungkapan penyambung pembicaraan saja.

Meaningless....sia-sia, ga ada gunanya dan ga ada dampaknya. Semua ga ada selesainya.


The Avengers: Kemenangan yang sia-sia?

Kita semua tahu Marvel CInematic Universe dan cerita The Avengers. Diawali dari mungkin Steve Rogers - Captain America yang jadi first Avenger lalu disusul Tony Stark - Iron Man bareng Hulk, Thor, Black Widow, Hawkeye sampai Black Panther dan Spiderman. Mereka melewati Battle of New York melawan Loki di Avengers (2012) dengan susah payah, eh ternyata perjuangan belum selesai karena masih harus menghadapi Ultron di Sokovia (Avengers: Age of Ultron), lalu ternyata ada musuh lama yang mempengaruhi pemerintah dan teman-teman para Avengers (Captain America: Winter Soldier) sampai menghadapi Thanos (Infinity War & Endgame). Bahkan setelah mengalahkan Thanos, semuanya belum selesai. Dilanjutkan dengan cerita The Falcon dan Winter Soldier bertualang mengalahkan sindikat. Wanda yang harus menghadapi ilusi-nya sendiri, hingga kembalinya Loki.

Pertama kali nonton Iron Man sampai Avengers yang pertama, gue bener-bener euforia. Gue euforia banget ketika Tony mulai berubah jadi lebih perhatian pada manusia lain, gue bersimpati pada Steve Rogers yang harus beradaptasi pada zaman baru dan musuh bentuk baru walau berakar dari masalah lama, gue bener-bener puas sampai kemenangan akhir di End Game. Masalahnya, gue merasakan hal yang berbeda ketika selesai nonton The Falcon & Winter Soldier beberapa waktu lalu. Kebas – ga berasa, rasanya kayak enggak ada yang membuat gue  senang atau sedih. Ketika gue pikir kenapa alasannya maka yang kebayang di gue sama seperti yang gue rasakan dengan Covid – ini kok jadi ga selesai sih?


Mau sehebat apapun Iron Man, Captain America, dan Avengers – ga ada masalah mereka yang selesai. Pasti ada musuh baru dan masalah baru yang berakar dari kesalahan para Avengers maupun musuh yang dulu sempat kalah tapi berhasil perlahan mempengaruhi orang-orang sehingga punya kekuatan lagi (HYDRA). Semua selalu berlanjut, bahkan kemenangan besar seperti di End Game ga membuat ada periode yang ‘damai’. Dan setulusnya Tony Stark berkorban, ia tetap meninggalkan orang-orang yang ga suka sama Tony (Quentin Beck & Crew – Spiderman FFH) yang akhirnya bikin masalah baru lagi. Rasanya sia-sia ya? Kayak ga ada yang bisa kita lakukan karena dunia ini tetap saja begitu, penuh masalah, penuh kesedihan, dan penuh kehilangan. Menang itu ga selamanya, bentar lagi juga harus berjuang kembali.

Ini realita di hidup kita juga kan?  Tiap hari kerja, belajar, jadi support system untuk pasangan yang punya banyak kekurangan, harus jadi tulang punggung keluarga yang mungkin ga ideal, harus jadi teman untuk orang lain yang tiap hari maunya didengar tapi ga mendengar. Dan harus diulang terus, konsisten setiap hari. Kayaknya kemenangan tertentu enggak berdampak sama hidup kita karena setelah ini akan ada masalah lain yang datang. Hidup itu rasanya jadi sebuah kekalahan yang panjang – akhirnya kita cuma mati lalu dilupakan.

Ini yang gue pikirkan saat selesai marathon MCU dan kepikiran tentang Covid, kalau dilihat maka perjuangan ini kayak sia-sia saja.

Jadi semuanya sia-sia? Terus hidup buat apa?


Covid: Membunuh ‘Aku’, Menciptakan ‘Kita’

Ketika gue pindah tempat kerja di awal 2020, gue masuk ke bagian ritel dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya lebih besar. Di situ gue yang awalnya kewalahan karena kebanyakan kerjaan justru semakin banyak ketemu orang hebat yang menjadi bagian dari tim yang bekerja dengan gue sekarang atau paling enggak membantu gue. Kita saling berbagi beban dan saling mengisi satu sama lain. Sure-ga perfect tapi masalah yang kalau gue kerjain sendiri akan bikin gue ‘setengah mati’, berhasil membunuh ‘ego’ gue untuk mengerjakan ini sendiri dan menerima kenyataan kalau sehebat-hebatnya gue maka impact yang gue kasih ke perusahaan ini akan kecil kalau ga bisa bekerja sama dengan orang lain. Justru ketika saling kenal dan mulai saling bantu, dampak dari tim kita kerasa banget baik dari segi mikro kayak desain, konten dan analisa maupun dari kualitas strategi bisnis dan dampak ke perusahaan yang kita buat. seperti Avengers, kini kita semakin kuat kalau bersama.

Sebelumnya, ego di sini bukan berarti egois. Cuma kalau lu sadari, kita mengalami sesuatu sebagai individu (ego/saya) dan kolektif (kita, masyarakat). Kedua konteks ini tergantung bagaimana kita sadar dan berpikir tentang sesuatu. Misalnya, ketika orang bilang ‘Ekonomi Bangsa Indonesia Memburuk karena Inflasi’, gue sebagai ego/individu ga secara langsung kerasa susah. Gue ga merasa miskin, gue tetap bisa brunch dan chill di tempat fancy walau tentunya dengan porsi atau frekuensi yang lebih rendah. Namun kalau dilihat secara berbarengan, banyak tahu orang yang ga bisa belanja kebutuhan sehari-hari sama sekali karena inflasi ini. Di sinilah kita dengan sadar harus menentukan pilihan – kapan harus fokus ke diri sendiri (ego) atau kapan harus bersikap kolektif. Kenapa harus sadar? Karena kita enggak mengalami ini bareng-bareng secara langsung.

Sama seperti itu, Covid itu memang selain membunuh ‘individu’ juga secara ga langsung kalau kita sadar sedang berusaha mengarahkan kita untuk membunuh ‘ego’ diri. Kita ga spesial, kita enggak istimewa di mata Covid hanya karena kita Kristen atau dekat dengan Tuhan. Kita bisa kena penyakit ini kapan saja dan di mana saja. Inilah pentingnya sadar bersama/kolektif. “Tuhan”-pun bisa jadi kita catut sebagai bagian dari ego kita loh. Di Amerika banyak orang Kristen yang justru menolak pakai masker karena percaya ‘Tuhan akan melindungi kita, untuk apa pakai masker? Untuk apa divaksin?”. Kita merasa sebagai bagian eksklusif dari pemenang, padahal mungkin kita Orang Tanpa Gejala (OTG) yang justru membawa virus dan menularkannya ke orang lain.

Bagaimanapun, kita adalah tokoh utama di cerita hidup kita, dan paling enggak – kita bisa dengan sadar mengendalikan aksi kita sendiri. Sudah saatnya kita stop fokus ke diri kita sendiri dan mulai membiasakan diri untuk ber-perspektif kolektif dan saling menjaga seperti keluarga. Dengan itu akan terbentuk ‘keluarga’ besar yang bisa dengan lebih mudah memerangi Covid.


Death: How God Makes ‘Me’ Hopeless

Gue pernah punya ‘teman dekat’. Jujur, bisa dekat dengan dia itu berkat tersendiri buat gue, dan setelah melihat beberapa orang yang dekat dengan gue baik yang lebih tua maupun sepantaran gagal dalam membina hubungan pacaran sampai rumah tangga, ego gue mengatakan kalau ‘Ya Tuhan untung gue bukan mereka. Untung gue pelayanan, Untung gue diberkati – Ga mungkin lah gue mengalami dan melakukan hal yang sama.” Pikir gue saat itu.

Tapi pelan-pelan, hal yang kecil-kecil lupa kita lakukan. Awalnya gue bercanda, lama-lama jadi kebiasaan untuk nge-joke yang buat dia ga nyaman baik karena kasar maupun karena topik joke-nya enggak patut dibicarakan bareng perempuan. Awalnya gue berusaha jadi pribadi yang dewasa, tapi lama-lama gue ga stabil dan akhirnya jadi terbiasa kasar serta ga perhatian – suka ngambek dan posesif. Semua dimulai dari hal kecil yang dulu gue tahu ini jelek. Gue tahu ini jahat dan gue tahu ini salah, tapi ternyata gue-pun melakukan hal itu. Hal yang menurut ego gue “Ga mungkin orang kayak gue ngelakuin hal itu”.

Inget ga ketika pertama kali ada berita Covid di tahun 2018? Yes 2018. Coba ketik “Pandemic Overdue” dan kamu bisa melihat banyak   berita yang meramalkan pandemi bahkan sejak 2005. Atau ingat pernyataan Pemerintah RI yang bilang Indonesia tidak bisa dimasuki Corona? Bisa dibilang, ada ‘Ego’ juga kan yang membuat mereka membuat pernyataan seperti itu?

Sama seperti Covid, Dosa biasanya diawali oleh Ego kita menolak kenyataan bahwa kita bisa jatuh dalam dosa. Kita jangan ngomongin ‘memaafkan-dimaafkan’ dulu, tapi nyatanya kita semua bisa melakukan kesalahan. Dosa itu bukan hukuman karena kita berpikir jahat, justru kita ga tahu itu jahat sampai ego kita berhenti dan kita benar-benar melihat “apa sih dampak dari tindakan kita?”.

Fokus di tulisan ini bukan Covid, tapi lebih dalam lagi- tentang ego. Karena Ego, karena kita tidak mau melihat dari pengalaman orang lain – kita membuat masyarakat jadi sakit. Karena Ego, kita tidak sadar apa yang kita lakukan itu mengganggu dan ternyata melukai orang lain. Karena Ego, kita meng-kambing hitam kan kelompok lain baik minoritas maupun mayoritas hanya karena kita tidak mau sadar diri kalau mungkin kita juga bagian dari masalah dan harus beraksi serta bersaksi. Dan akhirnya karena ego, kita ga mau patuh prokes, kita melanggar aturan demi keuntungan individu – yang membunuh ‘rasa kekeluargaan’. Akhirnya semua jatuh pada ego masing-masing karena “Ngapain gue peduli sama orang lain kalau orang lain cuma peduli sama diri sendiri?”, akhirnya kita semua membutakan diri dan terjebak bersama-sama.


Hope: Foreverless One Day

“But What Does It Mean, The Plague?

“It’s Life, That’s All.”

- Albert Camus, Sampar (The Plague).


Salah satu inspirasi gue saat menulis ini tentunya adalah buku Albert Camus yang berjudul ‘Sampar’. Ceritanya persis dengan pandemi Covid yang sedang kita lalui bersama. Seperti dialog yang dikutip di atas, diceritakan bahwa penyakit (dan dosa) bukan ada di luar. Tapi lebih sering ada di dalam tubuh kita dan ditularkan ketika kita berinteraksi dengan orang lain. Dosa dan sampar bukan sesuatu yang asing, justru lebih menakutkan karena ia hadir di dalam kita dan meskipun kita sembuh, satu hari ia bisa bangkit lagi. Camus juga mengatakan bahwa kita memang akan mati, namun kita juga masih hidup. Kita memang nanti bisa sakit, kita bisa berdosa dan melakukan kesalahan. Api Roh Kudus dalam hati kita bisa kita padamkan atau halangi cahaya-nya sehingga kita memilih ‘tidak mau sadar’ dan terjebak dalam dosa. Namun itulah yang membuat momen ‘mempertahankan api-mu’ berharga, meski kadang gagal, bukankah berjuang membuat iman-mu semakin kuat untuk bertahan lebih lama lagi sebelum kamu jatuh kembali dan belajar untuk bangkit lagi? Dengan bertahan mungkin kamu juga memberi cahaya bagi orang lain, bukankah itu sesuatu yang layak diperjuangkan?

Kenapa Avengers kalah di Infinity War? Satu teori yang gue suka bilang karena Steve Rogers dan Tony Stark serta banyak Avengers lain terbelah sejak ga bisa setuju dengan Sokovia Accords di Civil War. Mereka kerja sendiri-sendiri karena kekeuh ga mau berkompromi satu sama lain. Ga sadar kalau meski masing-masing punya hal yang bisa dipelajari dan dimengerti tetap ada hal yang harus dipertahankan – kebersamaan sebagai sesama Avengers. Namun toh meski mereka selalu menghadapi masalah, dan tantangan tak kunjung usai – justru tantangan yang semakin sulit membuat mereka sadar betapa mereka butuh satu-sama lain.

Semua makhluk ingin bertahan hidup, termasuk virus. Masalahnya virus tidak punya kesadaran seperti kita manusia sehingga ia hanya memiliki ego – insting untuk bertahan hidup sebagai individu virus tanpa peduli siapa yang mati dan apa yang hancur akan tindakannya.

Di tengah dunia yang semakin kejam dan tak mengenal kasih, mengingat apa yang Yesus lakukan – berkorban dan melakukan yang baik.  

LATEST POST

 

Respons terhadap Progresive ChristianityIstilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Ha...
by Immanuel Elson | 19 May 2024

 “…. terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari...
by Rivaldi Anjar | 10 May 2024

Tanpa malu, tanpa raguTanpa filter, tanpa suntinganTiada yang terselubung antara aku dan BapaApa ada...
by Ms. Maya | 09 May 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER