“Sang Iblis ada. Tuhan juga ada. Dan bagi kita, sebagai manusia, masa depan bergantung pada apa dan siapa yang kita pilih untuk kita ikuti.” (Ed Warren, di film "The Conjuring”)
Tahukah Anda, salah satu muslihat licik dari Iblis adalah membuat orang-orang percaya bahwa ia (Iblis) tidak ada; dan ia (Iblis) selalu memengaruhi pikiran kita, bahwa Iblis tidak ada kaitannya dengan rasa kehilangan, frustasi, kesedihan, penderitaan, dan semua kesengsaraan yang kita hadapi. Sehingga kemudian, yang manusia lakukan, adalah mulai menyalahkan dirinya sendiri... dan Tuhan.
Padahal yang sesungguhnya Iblis lakukan: mengalihkan pikiran kita dari uluran tangan kasih Tuhan.
Di kitab Yohanes 5:1-8, menceritakan seseorang yang sudah 38 tahun sakit dan disapa oleh Tuhan Yesus: "Maukah engkau sembuh?". Aneh memang membayangkan ini, Yesus bertanya pada seseorang yang sudah 38 tahun sakit lumpuh: maukah engkau sembuh? (Yohanes 5:6).
Coba bayangkan, misalnya ada seseorang yang sudah puluhan tahun hidup di bawah garis kemiskinan dan tiba-tiba Melvin Tenggara lewat di depannya dan bertanya: "Mau gak kamu tak kasih rumah layak dan pekerjaan tetap?". Pasti banyak orang berpikir kalau orang itu akan menjawab: “Mau banget!”. Tapi buat beberapa orang, ternyata tidak sesimpel itu berpikirnya; termasuk orang yang sudah sakit lumpuh selama 38 tahun ini. Dituliskan, "Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, ..." (ayat 6).
Tuhan Yesus sudah tahu! Itu fakta nomor satu dari cerita ini: Tuhan Yesus sudah tahu bahwa orang (yang sakit) itu sudah lama berbaring karena lumpuh. Tetapi alih-alih langsung berkata: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.", Tuhan Yesus malah bertanya: "Maukah engkau sembuh?".
Dari peristiwa ini kita bisa belajar, bahwa Tuhan Yesus itu penuh kasih; Dia tidak pernah memaksa. Dia selalu bertanya untuk menyelidiki hati kita. Karena banyak orang sering menyangkal bahwa dirinya sedang "sakit". Mereka berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi benarkah demikian? Benarkah kita, saya, dalam keadaan baik-baik saja? Ataukah hanya mempertahankan keadaan dan kemudian mencari alasan?
"I told you -good day I'm okay, bad day I'm okay-. Stop bugging me on my feelings. They're irrelevant." (kata Louis Zabel, yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri)
Bukankah bisa saja orang lumpuh itu tidak mau sembuh? Karena mungkin pikirnya: kalau aku sembuh, bisa berjalan, pasti aku harus bekerja untuk menyambung hidup ... bukankah selama ini aku cukup berbaring dan bisa hidup dari belas kasihan orang? Oleh karenanya, ketika Yesus menawarkan kesembuhan, orang sakit itu malah berkata: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku." (ayat 7). Jawabannya pada Yesus adalah keluh kesah, mencari pembenaran (alasan) kenapa dia terus berbaring di situ.
Kalimat (jawaban) orang sakit itu bisa saja diubah menjadi: "Tuhan, aku begini karena tidak ada yang kasih perhatian sama aku lagi."
Atau, "Ini salahmu Tuhan, aku udah jomblo selama 18 tahun! Jadinya hidupku kesepian dan berantakan...".
Bisa juga, "Aku gak pernah dikasih kesempatan oleh-Mu. Tiap aku berusaha, selalu gagal. Setiap aku mencoba, aku selalu berakhir dengan perasaan kecewa."
Padahal pertanyaan Tuhan Yesus saat menyapa sangat sederhana: "Maukah engkau sembuh?".
Tapi bisa jadi gak semua orang mau sembuh. Karena mungkin orang-orang yang seperti ini berpikir: "Kalau luka batinku sembuh, gak ada lagi yang bisa aku persalahkan atas sikap kasarku karena aku pernah disakiti... tidak ada lagi yang bisa membenarkan perangai burukku sebab orangtuaku bercerai sejak aku kecil... gak ada lagi alasan untuk membela diri kalau aku sinis pada kehidupan akibat trauma masa laluku... bukankah selama ini perilaku aku selalu dimaklumi karena orang-orang tahu bahwa aku punya luka batin dari masa laluku? Dan itu selalu berhasil untuk membela diri atas sikap-sikap burukku."
Tetapi timbul pertanyaan baru: Mau sampai kapan bertahan di situasi itu; bertahan hidup dengan luka/trauma masa lalu?.
Ada sebuah cerita yang diceritakan Kapten Howard sebelum kematiannya:
"Suatu ketika saat berjalan di pedesaan, seorang turis melihat seseorang di kejauhan menunggangi kuda yang sangat liar. Ia sangat kagum dengan penunggangnya karena bisa menaiki kuda liar tersebut. Ketika penunggang kuda itu melintas di depannya, turis itu berteriak: 'Hei... kau hebat sekali bisa menunggangi kuda liar itu. Kamu hendak membawanya ke mana?'.
Penunggang kuda itu pun menjawabnya juga dengan berteriak sebab seketika ia sudah menjauh: 'Aku tidak tahu! Tanya saja kuda ini...'.
Kapten Howard yang tahu kondisi detektif Mike Lowrey melanjutkan: "Kuda itu simbol trauma, luka batin, kepahitan hati, akibat masa lalu yang kelam. Saat kamu menceritakannya pada orang lain, atau buat seseorang yang tahu masa lalumu, mungkin dirimu akan dianggap hebat karena bisa hidup dengan 'menunggangi kuda' itu. Tapi pertanyaannya: apakah hidupmu saat ini masih dikendalikan 'kuda' itu? Atau lebih parah, kamu tidak sadar sedang menunggangi 'kuda' itu yang mungkin akan membawamu berlari ke tepi jurang dan terjun bersama-sama ke dalamnya?".
Masihkah kita mau terperangkap pada muslihat Iblis? Kenyataannya ia (Iblis) ada dan selalu berusaha mengalihkan perhatianmu dari tangan Tuhan Yesus yang selalu terulur padamu setiap hari.
Maukah engkau menyambut uluran Tangan Kasih itu? Maukah engkau menyambut perubahan dalam hidupmu setelah disembuhkan oleh-Nya?
"Tidak ada kesehatan, tanpa kesehatan jiwa." (dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ)
Hari ini, jika Dia meninggalkan pertanyaan ini di benakmu: "Maukah engkau sembuh...?", apa jawabmu?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: