Aku nggak mau menuntut badanku menjadi gemuk atau kurus, aku hanya ingin dia bahagia.
Meneruskan tradisi pre-birthday mental breakdown yang entah sejak kapan jadi tradisi, kali ini saya menyempatkan waktu sejenak untuk duduk manis di depan laptop dan menyapa kita semua yang mendapatkan ‘berkah’ berupa kuantitas berat badan yang bertambah setelah pandemi.
Sejak SMP kelas 1, saya dididik oleh kehidupan bahwa berat badan saya bukanlah ‘milik’ saya. Penyebabnya? Setelah mengidap SLE (atau lebih dikenal dengan "Lupus") pada kelas 1 SMP, berat badan saya takluk pada sebuah obat kortikosteroid yang menjadi camilan sehari-hari penderita autoimun. Saya bisa menghilang dari sekolah 1-2 bulan karena opname, lalu kembali ke sekolah dengan kondisi rok seragam saya sudah nggak cukup lagi. Salah satu efek obat ini dikenal dengan istilah moonface syndrome dan tentunya kondisi bedrest yang lama juga turut berkontribusi. Di sekolah nasib saya hanya dua:
Diledek fisiknya atau dikira siswa baru sekalian.
Berat badan saya kemudian terus mengembang dan menyusut dengan dinamis seiring naik-turunnya dosis obat saya. Terkadang saya bertemu dengan seseorang dan dia akan bilang “Loh gemukan ya?” kemudian orang lain akan bilang “Loh, kok jadi kurusan?”
I’m a shape-shifter, if you blink once, you won’t recognize me.
Dulu, saya merasa cukup sendiri dalam perjalanan "mengembang-mengempis" dan dikomentari fisiknya ini. Sekarang setelah pandemi, hmm…siapa yang bisa menebak?
Setelah anniversary setahun COVID19 dan WFH, alkisah tiba waktunya saya bertemu beberapa kolega untuk sebuah keperluan. Saya excited, sudah lama tidak punya ‘social event’ - rasanya seperti manusia gua yang akhirnya akan berjumpa peradaban.
Salah seorang kawan kerja kami rupanya terlambat karena baru menyadari, baju kerjanya yang biasa sudah tidak muat lagi. Tentu saja ia langsung jadi bulan-bulanan dan ledekan. Saya yang sedang duduk santai sambil cek HP tanpa dosa, tiba-tiba ikut jadi sasaran.
“Oliv juga nih, gemukan. Naik berapa?”
Sambil senyum sopan, saya menjelaskan kalau saya tidak punya timbangan di rumah dan juga bukan tipe yang rajin memantau. “Wah kalau aku nggak bisa tuh kaya gitu, aku tiap hari pantau, berat badanku nggak boleh naik sedikitpun,” dengan gagahnya dia menjawab.
Saya terperanjat - setelah bertahun-tahun ditempa dengan ledekan fisik dari SMP-SMA,
kok rasanya masih menyakitkan ya? I have other achievements than being a fat chick, tapi kok seperti nggak ada maknanya. Rasanya saya jadi agak menyesal keluar dari dalam ‘gua’.
Kita adalah kolega yang sudah setahun tidak berjumpa, mengapa nggak ada hal lain yang bisa dibicarakan? Misalnya kesehatan, bagaimana keluarga di rumah, apakah bisa beradaptasi dengan WFH, ortu sudah vaksin atau belum, dll. Banyak sekali loh, topik new normal yang bisa dipakai untuk small talks sama orang lain, selain ITU.
Lalu apa hubungannya sama pre-birthday mental breakdown? Berawal dari jengkel, emosi itu menggunung jadi insecurity baru untuk saya yang sebentar lagi berulang tahun ke-33. Entah sejak kapan, ulang tahun menjadi momen ‘rapotan’ yang meneror mental saya:
"Sudah apa pencapaian apa? Apakah kamu lebih baik dari tahun lalu? Apa rencana masa depanmu?" Dan berbagai pertanyaan lain yang memekakkan ruang kosong di kepala saya.
Ada momen-momen ketika saya merasa bisa kuat menghadang tantangan dan merasa tidak harus membuktikan apapun.
“Sticks and stones may break my bones, but words will never break me,” pekik jiwaku sambil membiarkan kata demi kata berlalu.
Namun kemenangan melawan benak sendiri itu jarang berlangsung permanen. Dalam satu sapuan angin lembut, mendadak pertahanan saya berderak-derak lalu ambyar. Dan datanglah semua insecurities, malam-malam saya dihantui oleh trauma masa lalu dan hal-hal yang lolos dari sela-sela jari saya.
Ada malam-malam ketika saya berbaring nyalang menatap eternit, mendengar suara kucing yang sama hampir tiap hari (sejak pandemi, atap rumah saya, tepat di atas langit-langit kamar, telah berubah jadi peternakan kucing - entah mengapa). Satu hari saya bisa geli mendengarnya dan membatin “Gemes banget sih.” Hari lain saya bisa terpana dalam suaranya dan mendadak pilu, “Impostor Cat of the vent, are you stuck too?” Kemudian auto buka amer.
Pandemi dengan segala pernak-perniknya bisa membuat kita merasa stuck dalam hidup, cabin fever parah, sesak oleh berbagai perubahan hidup. Kita semua sudah sama-sama berjalan melaluinya setahun ini, berusaha survive, kadang kita berhasil kadang kita terkapar. Kita harus bertahan melewati pandemi global, sambil tetap dituntut memberikan yang terbaik dalam pekerjaan, pelayanan, maupun studi. Persetan kalau dalam prosesnya, berat badan kita naik beberapa kilo.
Saya tahu, tidak mudah juga untuk tidak peduli. Diberitakan, setelah pandemi terjadi kenaikan permintaan operasi plastik karena orang-orang yang banyak melihat wajah mereka sendiri di Zoom, merasa tidak puas dengan tampilan wajahnya. Sejenis Snapchat Dysmorphia jenis baru.
***
Beberapa hari berlalu, tanpa sengaja saya melihat update posting media sosial terbaru dari kolega saya yang komentarnya menjengkelkan itu. Rupanya ia baru saja berulang tahun, tampak fotonya duduk manis bersama keluarga, dengan kado-kado dan kue-kue. Seperti seorang haters sejati, mata saya menyusuri detail foto-foto ulang tahun mencari bahan julid. Mata saya terantuk pada angka di kue itu. Ternyata usianya sudah tidak muda lagi. Untungnya, tidak seperti barang-barang lain di hidup saya, kompas moral sepertinya masih berfungsi. Saya disadarkan, dengan usia tersebut, tentu risiko kesehatan ketika berat badan naik, jauh lebih bahaya dari saya. Dan semua kue-kue yang difoto di sana, bisa dipastikan akan lebih banyak disantap orang lain daripada ia sendiri.
Gemuk, kurus, tua, muda. Apapun kondisi kita saat ini, di muka pandemi kita semua sama-sama organisme yang berpotensi jadi inang virus; dan di muka Tuhan, semua punya ‘salib’ walau bentuknya beda-beda. Jika kita memutuskan untuk menuntut diri kita memiliki standar fisik tertentu, monggo. Jika kita ingin membiarkan sekrup-sekrup untuk dikendurkan atau bahkan lepas saat ini, silakan juga. Karena menjalani hidup dari tuntutan orang lain sangatlah lelah, dan saya rasa ini bukan beban tambahan yang kita perlukan saat ini. Apapun standar yang mau kita terapkan ke tubuh kita saat itu, semoga itu kombinasi yang baik antara hikmat Tuhan dan rasa kasih kita yang tulus pada diri sendiri. Walau mungkin kita bukan follower Bang Uus, tapi semoga kita sama-sama jadi Umat-Umat Survive. Amin.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: