Siapakah kita hingga kita layak marah dan menentukan apakah seseorang layak mendapat ‘hukuman’ atau tidak?
Dalam perjalanan hidup, kita bersinggungan dengan banyak orang. Entah mereka yang akan menetap dan tinggal cukup lama atau mereka yang hanya sekadar singgah dan bertukar nama. Dari sekian banyak orang yang kita jumpai, semua memiliki sifat dan karakter yang berbeda, pola pikir yang tidak seragam, dan prinsip hidup yang kadang bertentangan dengan diri kita. Beberapa di antaranya mungkin menjadi teman baik, yang lain menjadi sebatas rekan kerja, sementara sisanya hanya sebatas datang untuk menorehkan luka di hati.
Pada kelompok yang terakhir, bagaimanakah sikap kita? Tidak jarang rasa benci dan marah pada orang-orang yang telah menyakiti kita membuat kita menjadi pribadi yang melupakan kasih. Kita menyimpan dengki, memupuk dan menyiramnya hingga ia tumbuh subur dan berbuah. Sulur-sulurnya membelenggu kita, mengikat hati dan pikiran kita untuk terus menyimpan rasa pahit yang sama terus menerus.
Ingat kisah Yunus yang diutus Allah untuk menegur orang Niniwe? Penduduk Niniwe yang jahat menyesali perbuatannya hingga Tuhan mengampuni kota tersebut. Namun, Yunus justru menjadi kesal dan marah.
Bukankah kita sering kali berlaku seperti Yunus? Dalam hati berharap agar Tuhan menghukum orang lain yang kita anggap jahat, berharap Tuhan tidak mengampuninya begitu saja dan memberikan ‘pelajaran’ yang layak kepadanya. Ketika kita melihat orang yang kita benci atau kita anggap bersalah memiliki hidup lebih baik dari kita, kita lantas bersungut-sungut dan protes kepada Tuhan. Kita mempertanyakan dimanakah keadilan dan kearifan Tuhan di dalam hidup ini.
Tapi, siapakah kita hingga pantas berpikir seperti itu? Ketika Yunus marah kepada Tuhan atas belas kasihNya kepada kota Niniwe, Tuhan menumbuhkan pohon jarak untuk menaungi Yunus, lalu membuatnya layu hanya dalam satu malam. Tentu saja Yunus marah.
‘Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”’(Yunus 4: 10-11)
Siapakah kita hingga kita layak marah dan menentukan apakah seseorang layak mendapat ‘hukuman’ atau tidak? Siapakah kita hendak mendengki sedemikian rupa? Kalau Allah yang menciptakan kita begitu Mahapengampun—begitu Mahakasih, siapakah kita hendak menentang keputusan dan rancanganNya?
Pastilah ada orang-orang yang menyakiti kita sepanjang perjalanan hidup ini. Orang-orang yang membuat kita terluka dan ingin memaki, orang-orang yang mengecewakan hati dan menguji kesabaran. Namun ingatlah, kita punya Tuhan yang pengampun dan penuh kasih, Tuhan yang berdaulat menentukan jalan hidup setiap ciptaanNya. Maka, bebaskan dirimu dari belenggu kepahitan yang menghimpit.
Berdamailah dengan penuh kasih dan hati yang lapang, lalu lanjutkan hidup dengan sukacita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: