Prejudice /ˈprejədəs/: “preconceived opinion that is not based on reason or actual experience.”
Bayangkan kalian sedang kelaparan setelah jalan-jalan seharian, dan kalian menemukan satu restoran yang lumayan ramai. Ketika kalian masuk ke sana, kalian disambut dengan ramah dan disajikan dengan makanan yang enak. Ketika kalian sedang berjalan kembali ke kosan kalian karena ingin merekomendasikan restoran itu kepada teman-teman kalian, kalian mendengar kalimat-kalimat rumor seperti ini:
“Eh, lu ngga tau kalo pemilik restoran itu mantan narapidana?”
“Salah satu pekerja di situ kan mantan gangster, satunya transpuan. Yakin lu mau bilang itu restoran bagus?”
“Eh, denger-denger, manager restorannya terkenal dan jenius, tapi sosiopat. Ngeri.”
Apa kalian tetap akan merekomendasikan restoran itu?
Bulan Juni 2020 menurutku adalah bulan yang membuat pusing. Kenapa? Terlepas dari masalah COVID-19 yang masih belum terlihat mereda, masalah terkait rasisme kembali mencuat, sejak adanya kasus pembunuhan George Floyd yang dilakukan oleh seorang polisi di US. Hashtag #BlackLivesMatter mengisi media sosial seakan orang-orang harus pake hashtag itu untuk menunjukkan kepeduliannya. Selain itu, bulan Juni juga dikenal sebagai “Pride Month”, di mana orang banyak mengusahakan kesetaraan hidup kaum LGBTQ+. Hal ini dibuktikan dengan beberapa perusahaan yang merubah warna logo mereka menjadi warna pelangi selama bulan Juni.
Di Indonesia, kedua masalah di atas dapat diilustrasikan seperti di bawah ini:
“Ah, dia ternyata keturunan suku ini to, pantesan aja kok gaya bahasanya kasar banget!”
“Orang tu cantik kalo kulitnya putih.”
“Eh, perusahaan ini ngedukung LGBT weh. Boikot!”
Dapat dilihat kalau pembicaraan di Indonesia pun nggak luput dari masalah rasisme dan penghakiman kepada orang yang berbeda dengan kita. Di dalam bahasa Inggris, kita menyebutnya sebagai “prejudice”, atau dapat diterjemahkan sebagai “prasangka”.
Apa perlu kita berikan kalimat penghakiman seperti itu?
Mari lihat kembali ilustrasi di atas. Bagi kalian yang pecinta drama Korea, mungkin kalian langsung menyadari bahwa “restoran” yang dibicarakan di atas adalah DanBam, sebuah bar yang menjadi latar cerita “Itaewon Class”. Menarik bahwa semua staf yang bekerja di restoran itu dapat “disebut” sebagai kaum liyan. Bayangkan saja, pemiliknya, Park Saeroyi (diperankan oleh Park Seo Joon), adalah seorang mantan narapidana. Manajer bar ini, Jo Yi-seo (Kim Da Mi), adalah seorang sosiopat dan hanya lulusan SMA. Sementara, orang-orang yang bekerja di sana adalah mantan anggota gangster, seorang transpuan, seorang anak haram yang kabur dari rumah, dan seorang black Korean.
Itaewon Class (2020)
Jika kita bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengan kita, patutkah kita mengatakan hal yang tidak pantas kepada mereka? Patutkah kita menghakimi mereka?
Jika kita pandang melalui kacamata sekuler pun, memberikan prasangka buruk kepada orang merupakan sikap yang seharusnya dihindari, karena prasangka buruk dapat memberikan dampak negatif. Tidak sedikit perseteruan terjadi akibat prasangka, beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian. Mungkin, rintangan kita untuk menghindari hal ini adalah adanya kecenderungan untuk memiliki stigma terhadap kelompok tertentu.
Di salah satu episode drama “Itaewon Class”, stigma ini dialami oleh salah satu karyawan Saeroyi, Hyun-yi, yang bekerja sambil menabung untuk membiayai operasi ganti kelaminnya. Ketika Hyun-yi melakukan kesalahan di DanBam, hampir semua staf merasa bahwa seharusnya dia dipecat saja, namun Saeroyi memberikan kata-kata yang bahkan cukup menampar diriku ketika menontonnya. Pidatonya dapat diterjemahkan seperti ini:
“Dunia menghindari orang-orang sepertiku karena aku adalah mantan narapidana. Kalian bertiga (Yi-seo, Geun-soo, dan Seung-kwon – karyawan Danbam lainnya – ) baru saja berulah dan membuat bar ini ditutup sementara. Tetapi Hyun-yi, yang dia lakukan adalah berusaha keras tanpa membuat masalah. Seperti kalian, Hyun-yi adalah karyawanku. Aku peduli terhadap hal itu. Kalian mungkin merasa tidak nyaman. Aku akan menghargainya jika kalian mengerti. Aku tidak bisa memaksamu untuk mengerti, tapi jika kalian enggan bekerja dengan Hyun-yi karena dia adalah seorang transgender, beritahu saya sekarang.”
Hal yang diajarkan Saeroyi kepada karyawannya adalah untuk berfokus pada proses pembentukan dan kedewasaan seseorang untuk menjadi sukses, bukannya kepada “kelainan” atau kesalahan yang orang tersebut miliki. Sebagai orang Kristen, kita pun diajak untuk mengasihi orang tanpa memandang perbedaan latar belakang orang tersebut. Kurasa jawabannya sudah sangat jelas bahwa tidak sepatutnya kita menghakimi orang hanya karena mereka berbeda dari kita.
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Aku yakin kita sering mendengar ayat ini kan?
Kasihilah sesamamu, artinya… ya, sesamamu.
Mari kita ingat-ingat salah satu lagu sekolah minggu:
Yesus cinta semua anak (bisa juga menggunakan kata "bangsa"), semua anak di dunia
Kuning, putih, dan hitam, semua dicinta Tuhan
Yesus cinta semua anak di dunia
Lirik lagu di atas mengingatkan kita bahwa kita hidup di dunia bersama dengan orang-orang yang berbeda dengan kita, dan semuanya dikasihi oleh Tuhan. Dengan menjadi garam dan terang dunia, kita pun juga dituntut untuk mengasihi mereka.
Hal ini menjadi hal yang susah dilakukan bagi salah satu ahli Taurat yang dicatat pada Lukas 10:25-37. Ketika ia bertanya kepada Yesus mengenai dasar memperoleh hidup kekal, ia dengan mudah menjawab tanggapan Yesus dengan berkata bahwa ia harus mengasihi Tuhan dan sesama, tetapi merasa bahwa mengasihi sesama yang “sama” dengannya sudah cukup. Ketika perumpamaan yang diberikan Yesus mengangkat orang Samaria sebagai orang yang berbelas kasihan, aku yakin sang ahli Taurat tersebut terheran-heran, karena pada saat itu, orang Yahudi memandang rendah orang Samaria karena mereka adalah keturunan orang Israel yang sudah kawin campur dengan bangsa lain dan dianggap melanggar hukum Taurat (band. Ulangan 7:3-5).
Perumpamaan “Orang Samaria yang murah hati” menjadi tamparan baginya dan bisa menjadi tamparan bagi kita juga. Coba bayangkan jika Gurumu berkata bahwa kita harus meneladani seseorang yang bukan orang Kristen untuk belajar mengasihi sesama, ketika kita adalah umat yang dipanggil untuk mengasihi.
Selamat belajar mengasihi, tanpa memandang apakah mereka kaum normal atau yang disebut “kaum liyan”. Intinya, selamat belajar mengasihi sesamamu manusia.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: