Hidup Bukan Kontes Rohani

Best Regards, Live Through This, 14 May 2020
Kontes rohani semacam ini membuat buyar tujuan kita yang sejati dalam menjalani kehidupan, menjadi trauma bagi jiwa yang sedang belajar pulih dari masa lalu yang menjerat, dan intervensi bagi jiwa yang seharusnya dapat belajar lebih dalam tentang hukum yang terutama.

Beberapa hari yang lalu, saya membaca Editorial Letter untuk Mei-Juni dengan judul "Liquid-Solid Church", saya yakin kita semua yang membacanya akan paham arah tulisan itu adalah untuk mempersatukan gereja-gereja yang berbeda dalam konteks tata ibadah dan rupa-rupa pengajaran. Kita menyadari ada perbedaan yang nyata bahkan di dalam tubuh Kristus yang disebut gereja. Tapi mari kita menyebut "perbedaan" itu sebagai "keberagaman".

Debby Hudson at Unsplash.com

Tulisan saya yang pertama ini tidak bicara soal keberagaman itu dilihat dari gereja sebagai organisasi, lembaga, ataupun lingkaran sosial, tapi membalikkan cermin ke arah kita sendiri sebagai gereja - kalau masih ingat penggalan kalimat "Gereja bukanlah gedungnya dan bukan juga menaranya, ... gereja adalah orangnya". Sudahkah kita sebagai gereja yang cair namun juga padat?

Mudahnya menilai orang lain dengan label "sangat rohani" atau "sangat tidak rohani" dapat menjadi bumerang bagi kita dalam menilai diri kita sendiri: entah menilai diri kita lebih baik dari orang lain atau malah lebih buruk.  Ini menjadi titik awal kehidupan (khususnya) antar orang Kristen berubah menjadi "kontes rohani". Kontes ini membuat buyar tujuan kita yang sejati dalam menjalani kehidupan, menjadi trauma bagi jiwa yang sedang belajar pulih dari masa lalu yang menjerat, dan intervensi bagi jiwa yang seharusnya dapat belajar lebih dalam tentang hukum yang terutama. 

Saat seorang pengkotbah atau pendeta bersaksi tentang masa lalunya yang (biasanya) dahulu adalah seorang pengguna obat-obatan terlarang, suka mabuk-mabukan dan menjalani pergaulan bebas, atau sering terlibat dalam kekerasan, namun kemudian ia "menemukan Tuhan" dan kehidupannya berputar 180o sampai ia akhirnya berakhir di atas mimbar memberitakan pertobatannya, secara tidak langsung ia pun memberi jarak antara dirinya dan pendengar yang (mungkin) saat itu masih bergumul dengan dosa yang sama atau berbeda. Padahal dengan pertobatan dari dosa masa lalu tersebut, bukan berarti setelahnya seseorang tidak akan pernah berbuat dosa lagi. 


Manusia tetap rapuh dan rentan untuk jatuh ke dalam dosa setiap hari. Namun apa yang dibawa ke atas mimbar selalu terasa lebih menarik apabila kita hanya terpaut pada glorifikasi kebebasan dari dosa yang menurut kita cukup besar atau parah sehingga layak untuk diangkat sebagai sebuah kesaksian. Apakah dosa yang begitu besar sehingga apabila kita sudah meninggalkan perbuatan yang lama itu maka kita dapat melabeli diri kita sebagai lahir baru dan menjadi pribadi yang "rohani"? Sebaliknya, apabila kita sudah lahir baru, bukankah seharusnya kita semakin tekun menguji diri kita sendiri dan segala hal yang kita terima maupun berikan kepada kehidupan setiap hari?

“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24 TB)

Saya yakin saya bukanlah satu-satunya yang merasa pernah membandingkan kehidupan rohani saya dengan orang lain. Membandingkan sudah berapa pasal dalam Alkitab yang sudah saya baca dengan yang telah dibaca oleh orang lain, atau sudah berapa lama saya melayani di gereja atau persekutuan dibanding dengan orang lain, atau sudah berapa banyak buku teologis yang sudah saya baca sehingga pengetahuan saya tentang suatu nas dalam Alkitab mungkin lebih luas daripada orang lain, seberapa banyak saya mengajar orang lain tentang isi Alkitab, atau seberapa banyak mujizat yang terjadi dikerjakan Tuhan melalui doa-doa dan pelayanan saya. Kita semua mengamini kerohanian seseorang tidak hanya dilihat dari seberapa baik ia memimpin doa atau seberapa sering ia membaca Alkitab, tapi juga terlihat dari perilaku atau perbuatannya sehari-hari. Namun, pun tidak sedikit yang akhirnya merasa "lebih baik" untuk melakukan hal-hal positif daripada membangun komitmen untuk belajar lebih dalam tentang Firman Tuhan. Untuk siapapun yang membaca tulisan ini, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri, kita termasuk golongan yang mana?

Membandingkan kehidupan rohani kita dengan orang lain adalah tindakan yang sia-sia. Mungkin bagi beberapa orang metode "kontes rohani" ini dilakukan dengan motivasi yang baik, yaitu untuk menumbuhkan kelompok yang bertumbuh dalam pembacaan Firman Tuhan, atau bertumbuh untuk melakukan banyak hal dan berdampak positif bagi komunitas. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang tidak pernah puas, cenderung dinamis dan adaptif. Keinginan menjadi lebih baik dari orang lain akan selalu ada dalam diri manusia, tergantung seberapa ambisi yang ia punya. Namun seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, kontes rohani semacam ini dapat mengaburkan tujuan sejati dalam menjalani kehidupan, yaitu untuk setia dan taat sampai akhir. Membawa orang lain berjalan kepada Terang adalah baik, itu pun panggilan kita dalam melayani di dunia, namun membandingkan kehidupan rohani kita dengan kehidupan rohani orang lain adalah berbeda arahnya. Ujung dari perbandingan adalah penilaian bahwa sesuatu akan dinilai lebih baik dari yang lain, dan yang lainnya akan dinilai tidak sebaik yang lain.


Melalui tulisan ini saya usulkan, bagaimana kalau kita kembali mengenal perlombaan yang diwajibkan bagi kita sebagai umat Tuhan? Perlombaan agar kita tetap pada tujuan kita yang sesungguhnya, yaitu hidup setia dan taat sampai akhir dengan mata yang tertuju kepada Kristus. (Sebagai bahan renungan: 2 Tesalonika 2:13-15, 1 Timotius 6:11-12, Ibrani 12:1-2, Wahyu 2:10b.)

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER