TIDAK seorangpun yang TIDAK pernah mengalami "keretakan". Sekalipun kita sudah terus diingatkan bahwa waktu terus berjalan dan semua keretakan itu akan berlalu, namun tak dapat dipungkiri bahwa tidak seorang pun yang tidak resah, gelisah, dan bersedih hati, saat melalui masa-masa pembentukan itu.
Aku teringat momen dimana seorang sahabat tidak dapat disebut lagi sebagai sahabat karena kekecewaan yang muncul di antara kami. Pertemananan yang terjalin selama 7 tahun seolah tiba-tiba sirna akibat kemarahan dia terhadap perkataan pasanganku yang dimaksudkan untuk canda, namun dirasa pedih baginya. Faktanya, ia yang pertama kali terluka. Namun ketika mengetahui fakta berikutnya, bahwa kami tidak dapat lagi menjalani pertemanan seperti yang lalu, kemudian hatiku terluka. Ya, hubungan kami retak.
Begitu pun kekecewaan yang muncul di antara seorang anak dengan orang tuanya yang dirasa begitu menekan. Perasaan-perasaan negatif yang selalu muncul karena tampaknya orang tuaku tidak memperlakukanku secara baik menurutku. Saat mereka tidak mendengarkanku, tidak memahamiku, tidak mendukung keputusanku, selalu menyalahkanku, bahkan seakan-akan keberadaan diriku tidak dihargai. Ah, terlalu banyak kisah kekecewaan dengan orang tua jika dijabarkan. Tanpa sadar, relasi dengan orang tua pun retak.
Hingga bertemu dengan pasangan hidup yang paling sering kuandalkan. Ya, kupikir dialah satu-satunya orang yang Tuhan tempatkan di kala aku membutuhkan dukungan. Namun ke sekian kalinya, gesekan demi gesekan itu tetap ada, semakin mengenalnya, semakin banyak perbedaan yang tampak. Aku tidak dapat selalu mengandalkannya. Ya, tak dapat terelakkan bahwa relasi kami pun memiliki keretakan tersendiri.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan ketika mengalami keretakan demi keretakan dalam relasi antar sesama?
1. Percaya bahwa keretakan dalam relasi adalah sebuah seni
Berbeda dengan relasi kita terhadap Tuhan, menjalin relasi dengan sesama memiliki seni tersendiri.
Sadar atau tidak, kekecewaan demi kekecewaan yang terjadi antara kita dengan sesama hanyalah berasal dari ekspektasi kita terhadap mereka. Semakin besar ekspektasi kita, semakin besar kekecewaan yang timbul. Padahal, orang-orang yang kita temui memiliki berbagai latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman, yang membentuk karakter dan kepribadian mereka, termasuk dengan diri kita. Jika kita sudah bisa menerima dan memahami perbedaan, inilah esensi dari seni berelasi.
Mengenai sahabat, orang tua, atau pasanganku, aku jadi belajar memahami dan menerima bahwa begitulah diri mereka. Bukan berarti aku jadi tidak boleh berharap, namun aku tidak memaksakan kehendakku atas pribadi mereka atau atas apa yang terjadi.
2. Percaya bahwa Allah memberi kekuatan
Faktanya, Allah kita adalah Allah yang rela diam namun Ia juga adalah Allah yang akan terus-menerus memberi kekuatan dan kemampuan bagi kita jika kita bergantung padaNya.
Maka, daripada tenggelam oleh kalutnya emosi akibat keretakan yang terjadi, manfaatkan momen demi momen untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sampaikan seluruh perasaan dan pikiran kita padaNya. Alangkah lebih baik jika memiliki saudara seiman yang juga dapat mendengar keluh kesah kita secara objektif.
3. Percaya bahwa Allah turut bekerja
Katakanlah sosok Ayub yang juga mengalami keretakan relasi dengan ketiga sahabatnya (Ayub 6), bahkan istrinya sendiri (Ayub 2:9-10); atau sosok Paulus yang dalam akhir hidupnya, ditinggakan rekan-rekan sepelayanannya (2 Timotius 4:9-16), bagaimanapun Allah turut bekerja dalam keretakan itu.
Kita sebagai manusia hanya dapat membayangkan detik setelah semua itu berlalu dan saat kembali menengok ke belakang, kita baru dapat berkata, "Ya, Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagiku" atau "Ya, Allah sengaja memakai caraNya yang unik untuk membentukku".
Sangat mungkin, bukan hanya aku yang mengalami keretakan relasi dengan sahabat, orang tua, dan pasangan hidup. Ada jutaan orang yang juga mengalami hal yang serupa. Saat itulah kita bisa lebih berempati, berbagi pengalaman, bahkan memberi cara pandang yang telah diubahkan.
Bukankah bejana retak, walau diletakkan di tempat yang kurang istimewa karena lusuh, namun itu menandakan bejana itu sering dipakai oleh tuannya? Sedangkan bejana emas dan perak diletakkan di tempat yang paling istimewa, namun biasanya hanya akan jadi pajangan.
Mari buka hati dan pikiran kita untuk melihat ada hal yang jauh lebih besar dari yang kita pikirkan yang sedang Tuhan kerjakan, bahkan melalui keretakan yang kita alami.