Masa Adven kita maknai bukan sekedar penantian pasif, namun sebuah penantian yang berpengharapan dan penuh dengan kesetiaan. Karenanya dibutuhkan kesiapan diri untuk melakukan itu.
Menunggu menjadi satu hal yang dibenci banyak orang. Tak jarang, setiap dari kita mencoba menghindari itu. Perhatikanlah berbagai hal lumrah yang terjadi di sekitar kita: Pengendara yang mencoba menerobos lampu lalu lintas, orang-orang yang mengabaikan budaya antri ketika memasuki bus kota, hingga praktik calo yang menjamur di berbagai pelayanan publik. Apakah korelasi dari ketiga contoh tersebut? Ya, ketiganya berbicara perkara waktu!
Pepatah bijak mengatakan bahwa “Time is money!” – sebuah pepatah yang berbau kapitalis- Tapi bukankah itu yang kita hayati dewasa ini? Waktu memiliki nilai yang sangat penting. Ia sangat identik dengan produktivitas. Sehingga semakin produktif seseorang maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan uang. Sebaliknya, seseorang akan merasa hancur apabila ia tidak bisa mengatur waktunya dengan baik.
Hal tersebut menjadi jawaban mengapa kita sangat membenci dengan aktivitas “menunggu”. Terlebih jika tidak ada kepastian dari yang ditunggu itu. Saya pribadi tidak segan untuk meninggalkan tempat pertemuan apabila teman yang saya nanti tidak kunjung datang, terlebih tidak memberikan kabar mengapa ia telat.
Hachiko dan Ueno
Di balik buruknya pandangan kita akan aktivitas “menunggu”, namun ada nilai bermakna dalam aktivitas itu. Kisah seekor anjing bernama Hachiko dan tuannya Ueno di bawah ini akan membantu kita memaknai aktivitas “menunggu”:
Anjing memang kerap kali menunjukkan kesetiaannya kepada tuannya. Tak terkecuali bagi Hachiko, seekor anjing peliharaan dari seseorang yang bernama Hidesaburō Ueno. Kedekatan antara Hachiko dengan Ueno sungguh nampak ketika sang tuan hendak berangkat bekerja. Hachikolah yang dengan setia mengantar kepergian Ueno dari depan pintu gerbang hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, hal yang sama pula dilakukan Hachiko untuk kembali datang ke stasiun dan menunggu tuannya yang hendak menuju ke rumah.
Pada 21 Mei 1925, Ueno meninggal dunia secara mendadak. Hachiko yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa tersebut tetaplah menjalankan ‘rutinitas’nya. Ia terus menunggu tuannya di stasiun. Namun, insting Hachiko sebagai anjing nampaknya bekerja. Ia merasakan ada suatu hal yang tidak beres telah terjadi sehingga ia tidak mau makan selama tiga hari, walaupun masyarakat sekitar memberikannya makanan.
Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Ueno, Hachiko terlihat menunggu kepulangan majikannya di Stasiun Shibuya. Hingga pada 8 Maret 1935 pada pukul 06.00 pagi, setelah menunggu sepuluh tahun lamanya, ia ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya, tempat dimana Hachiko setia menunggu kedatangan tuannya Ueno, yang telah meninggalkannya terlebih dahulu.
Menanti dengan Penuh Kesetiaan
Kisah Hachiko dan Ueno di atas setidaknya menunjukkan bahwa menanti menunjukkan perjuangan. Kesetiaan terpancar dari kerelaan diri untuk mau menanti. Memang betul bahwa penantian sangat berkaitan dengan sebuah harapan (hope). Itu pula yang menjadi semangat Adven.
Adven (Bahasa Latin: adventus) berarti datang atau kedatangan. Kata tersebut sudah lama digunakan pada masa Romawi untuk menyambut kedatangan kaisarnya. Dalam empat Minggu ke depan, kita tidak hanya menanti kedatangan Kristus sebagai manusia yang kita rayakan dalam peristiwa Natal, namun kita juga menanti kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman.
Berbicara kedatangan Tuhan dan akhir zaman, umat manusia memang senang untuk menerka-nerka kapan peristiwa itu datang. Banyak prediksi dengan analisa mendalam muncul dan semuanya tidak terbukti benar. Kapan waktu itu tiba? Injil mencatat bahwa tidak ada seorangpun yang tahu kapan kedatangan Tuhan terjadi (Mat 24:36). Kedatangan-Nya memang menjadi sebuah misteri.
Di tengah “kegamangan” itu, iman kita diuji. Masihkah iman kita berpengharapan pada ia yang akan datang itu? Masihkah kita menanti-Nya dengan tekun dan setia? Alih-alih menjawab ya, kita justru terlena akan kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia ini. Tak jarang, fokus kita pada Tuhan yang akan datang itu menjadi tersamar dan bahkan hilang. Pengalaman serupa dialami Bangsa Yehuda yang telah meninggalkan Tuhan dan hidup otonom. Mereka telah melupakan Tuhan yang berjasa bagi kehidupan mereka. Karenanya Nabi Yesaya menegur dan mengajak mereka untuk berjalan di dalam terang TUHAN (Yes 2:5).
Kesiapan Diri
Sudah saatnya kita meninggalkan "gaya hidup" yang seperti itu. Masa Adven menjadi satu masa bagi kita untuk hidup reflektif. Masa Adven kita maknai bukan sekedar penantian pasif, namun sebuah penantian yang berpengharapan dan penuh dengan kesetiaan. Karenanya dibutuhkan kesiapan diri untuk melakukan itu.
Dari mana kita memulai kesiapan diri tersebut? Paulus berkata, “Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur” (Rm 13:11). Menarik bahwa Paulus menggunakan kairos untuk menjelaskan "waktu" dalam ayat 11. Kairos bermakna waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk kita dapat bertindak penuh kasih dan bermanfaat bagi sesama.
Itu dimulai dengan tindakan “bangun dari tidur” (Rm 13:11). Sebuah sikap untuk menyadari keberdosaan dan hidup dalam pertobatan karena kedatangan Tuhan sudah dekat. Dengan menyadarinya, kita semakin mengerti bahwa orang yang siap, yakni ia yang setia pada panggilan Tuhan untuk tetap terus mengerjakan misi Allah di tengah-tengah dunia, yakni bertindak penuh kasih dan bermanfaat bagi sesama.
Selamat menghayati Masa Adven.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: