"..Alat musik dan orang yang memainkannya itu seharusnya menjadi pengIRING umat bernyanyi, bukan pengGIRING"
Tulisan ini merupakan tulisan ringan yang membantu teman-teman semua dalam merancang sebuah ibadah remaja/pemuda yang mengasikkan dan juga tetap GKI. Tentu, aku buat dalam sudut pandang liturgi GKI dan Teologi Liturgi. Sebelumnya, mari kita buat pengertian bersama, bahwa liturgi tidak serta-merta mengenai susunan ibadah saja, melainkan liturgi adalah ibadah itu sendiri. Liturgi merupakan sebuah perayaan ibadah, yaitu sebuah perayaan kasih setia Tuhan bersama dengan sesama. Merancang liturgi berarti kita merancang seluruh unsur peribadahan, dimulai dari teks tata ibadah, musik, dekorasi, dan lain sebagainya.
Pada tulisan ini, aku mau bahas mengenai ALAT MUSIK DAN PENGIRINGNYA DI IBADAH
Perdebatan tentang Alat Musik
Entah ini terjadi di seluruh gereja atau tidak, banyak gereja yang berdebat mengenai alat musik yang digunakan untuk mengiringi nyanyian jemaat pada ibadah. Jangan-jangan, kamu juga pernah berdebat dengan orang-orang di gereja perihal masalah ini. Memang masalah ini “terlihat” sepele, namun terkadang permasalahan ini menimbulkan sakit hati dan terganggunya dinamika pelayanan di gereja.
Ada orang-orang yang mengatakan alat musik yang paling “kudus” untuk mengiringi nyanyian jemat di gereja adalah organ (atau bahkan pipe organ). Sejak dulu, pipe organ dijuluki sebagai “The Queen of Musical Instrument”. Sejak zaman dahulu organ dipakai sebagai pengiring nyanyian jemaat dalam ibadah. Bagi orang-orang yang pro dengan organ, mereka akan mengatakan bahwa alat musik ini adalah instrumen musik yang terbaik untuk mengiringi nyanyian karena, “Kita harus mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan” (perlakuan yang sama juga diterapkan pada piano). Namun, sebagian orang menentang hal ini dan mengatakan bahwa organ adalah alat musik yang terlalu kuno, bikin ngantuk, dan memainkannya susah.
Lanjut, ada orang-orang yang mengatakan bahwa alat musik yang mampu “Menghadirkan hadirat Tuhan” adalah alat musik yang full band (kira-kira terdiri dari drum, gitar listrik, gitar bass, keyboard). Konon katanya, (kelompok) alat musik ini merupakan instrumen yang paling digandrungi remaja kekinian. Tidak sedikit dari mereka mengatakan bahwa alat musik ini mudah dipelajari dan sangat cocok dengan mereka. Tetapi, bagi sebagian orang alat musik fullband dinilai terlalu 'berisik' dan dianggap menyusahkan para kaum lanjut usia dalam menyanyikannya.
Perdebatan tanpa usai ini nampaknya perlu kita sikapi dengan bijaksana. Setidaknya, melalui artikel ini kita bisa menjernihkan situasi dan mengambil pilihan yang tepat.
Sejarah Alat Musik di Dalam Gereja
Pada zaman kerajaan Israel Kuno, puji-pujian kepada Tuhan yang dilakukan di Bait Allah diiringi dengan berbagai macam alat musik. Jika kita membaca Mazmur 150, kita dapat membayangkan alat musik yang digunakan pada saat itu. Namun, semua berubah ketika bait Allah di Yerusalem dihancurkan dan Israel dibuang ke Babel. Dukacita yang mereka alami selalu mereka ekspresikan di ruang-ruang tertentu, dan otomatis mereka tidak memakai alat musik hingga mereka kembali. Bahkan hingga sekarang, alat musik tidak digunakan di tempat-tempat ibadah orang Yahudi.
Kita sudah mengetahui bahwa komunitas Kristen pada abad pertama berkembang dari komunitas-komunitas Yahudi. Karena kebiasaan, peribadahan Kristen hingga satu milenium pertama tidak menggunakan alat musik apapun. Hingga pada abad 15 hingga 16, perkembangan alat-alat musik begitu cepat, namun belum dipakai di dalam gereja. Baik Luther maupun Calvin, nyanyian jemaat pada saat itu tidak diiringi organ (yang menjadi alat musik primadona pada saat itu). Organ pada abad tersebut masih berbentuk kecil dan tidak sebesar sekarang, sehingga suara yang dihasilkan kurang terdengar jelas.
Pada saat itu juga, Calvin tidak setuju pada penggunaan alat musik di ibadah karena ibadah terkesan seperti sebuah “pementasan”. Sebagai gantinya, nyanyian umat dipimpin oleh para ahli yang disebut cantor dan procantor. Lama-kelamaan, musik mulai masuk dan diterima pada ibadah-ibadah Protestan, dimulai dari masuknya organ, piano, orkestra, dan yang lainnya, hingga sekarang diiringi oleh aneka alat musik yang beragam.
Alat Musik itu untuk PengIRING, bukan pengGIRING
Belajar dari sejarah tersebut, kita dapat melihat bahwa alat musik yang beragam sudah ada dan menjadi pengiring ibadah sejak dahulu kala. Secara sederhana dan praktis, kita dapat mengatakan bahwa beragam alat musik dapat mengiringi ibadah! Apapun alat musiknya, segalanya dapat “bertugas” sebagaimana fungsinya sebagai alat musik.Namun, kita perlu melihat lebih dalam permasalahan yang ada. Selama ini mungkin pemilihan alat musik yang diributkan. Padahal, kita sedang meributkan penggunaan alat musiknya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan alat musik.
Pertama, kita harus paham bahwa alat musik itu harus diposisikan sebagai pengIRING, bukan pengGIRING. Tidak sedikit para pemain musik gereja beranggapan bahwa anggota jemaat yang hadir pada sebuah ibadah harus paham teknik bermain musiknya (termasuk harus tahu intro dan interlude). Seakan-akan, anggota jemaat harus mengikuti segala kemauan dari para pemusiknya. Aransemen yang sulit serta intro/interlude yang tidak jelas menyusahkan para pengunjung ibadah! Ketika kita memahami bahwa alat musik adalah pengiring dan kita adalah pemusik sekaligus pelayan, maka kita harus memahami bahwa kita yang harus melayani Tuhan melalui jemaat dengan memberikan iringan yang sesuai. Ini yang disebut dengan kesederhanaan. Sederhana bukan berarti tanpa persiapan.
Kedua, yang harus diperhatikan adalah interpretasi dari nyanyian tersebut. Sudah dijelaskan pada episode I bahwa dengan menginterpretasi nyanyian, kita mampu memahami suasana nyanyian. Pernah aku temukan di sebuah GKI, pada saat Jumat Agung, pemusik mengiringi nyanyian NKB 85 (berjudul Kar’na KasihNya) dengan alunan melodi cha-cha. Bisa dibayangkan dalam suasana penghayatan kematian Kristus malah nyanyiannya mengajak berdansa. Itulah salah satu contoh interpretasi perlu mendapat perhatian dalam sebuah aransemen.
Ketiga, yang harus diperhatikan adalah volume alat musik itu sendiri. Terkadang, alat musik fullband mendapat stereotip sebagai alat musik yang berisik. Padahal, yang dipermasalahkan sebenarnya bukan alat musiknya, tetapi cara memainkannya. Apapun alat musiknya, memerhatikan volume alat musik menjadi hal yang penting. Beri porsi yang seimbang antara suara umat yang hadir dengan volume alat musik. Ketika alat musik mempunyai volume yang sangat besar, tak jarang hal itu mengganggu pendengaran para umat yang hadir.
Pengiring itu Pelayan, Bukan Artis Gereja
Banyak pengiring nyanyian jemaat mengaransemen nyanyian sedemikian rupa, sehingga ada satu bagian pengiring tersebut dapat menunjukkan skill-nya dan showoff pada sebuah iringan nyanyian. Aku tidak mau membenarkan atau menyalahkan hal ini, tetapi aku hanya ingin menuntun kalian untuk menilai. Menggunakan skill dalam bermain musik merupakan hal yang penting. Salah satu nilai musik dalam mengiring ibadah adalah estetika (yang harus seimbang dengan interpretasi). Namun, penggunaan yang berlebihan dapat berpotensi pada hilangnya sense of hymns. Maksudnya, aransemen yang berlebihan dapat menghilangkan makna nyanyian itu sendiri, sehingga umat yang hadir lebih memerhatikan aransemennya daripada isi dari nyanyian yang sedang dinyanyikan.
Permasalahan Mengenai Rythmbox pada Keyboard
Ada beberapa gereja, dengan berbagai alasan, menggunakan Rhythmbox (atau Rhythm otomatis) di keyboard. Rythmbox adalah sebuah melodi yang dikomputasi sedemikan rupa sehingga menghasilkan sebuah rhythm yang diinginkan. Lagi-lagi aku tidak membenarkan atau menyalahkan hal ini, tetapi aku hanya ingin menuntun kalian untuk menilai. Rhythmbox sering digunakan karena mudah dipelajari. Namun, sebaik apapun Rhythmbox , ia tetaplah komputer yang tidak punya jiwa. Ritme yang dihasilkan otomatis sehingga tidak bisa mengenal jiwa nyanyian, tidak ikut “bernafas” (selalu konsisten), tidak tahu attack maupun release dari sebuah kalimat lagu, tidak bisa memperkirakan fermata, dan lain sebagainya. Hal ini bertabrakan dengan konsep bahwa alat musik adalah instrumen pengiring. Kita perlu bijak dalam menanggapi hal ini
Penutup
Jangan sampai alat musik menghalangi pelayananmu. Namun, jangan sampai egomu juga menghalangi orang lain untuk merasakan hadirat Tuhan melalui nyanyian. Alat musik dan pengiringnya merupakan sebuah bentuk pengabdian; maka dari itu, harus ada keseimbangan antara instrumen, pengiring, nyanyian, dan umat yang menyanyikannya. Segala kreativitas perlu kita terapkan dalam mengiring nyanyian atau menggunakan instrumen-instrumen musik, asal tetap dipahami bahwa alat musik dan pengiring merupakan pelayan yang melayani Tuhan, dengan cara melayani umat yang hadir dalam ibadah untuk bernyanyi.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: