Image by Lily Elserisa (Personal Assets)
Tulisan tersebut ditempelkan di dinding pinggir jalan yang saya lewati beberapa bulan lalu saat membelah padatnya malam minggu Yogyakarta. Karena waktu itu terjebak dua kali lampu merah, maka ada paling tidak sekitar 2 menit untuk memperhatikan dan mengizinkan pikiran saya bekerja. Yang pertama kali terpikir adalah mengenai bagaimana saat ini makin marak hubungan berpacaran dengan genre postmodern yang dinarasikan dengan: ya yang penting aku senang. Berpacaran dengan tidak telanjang ya tidak apa-apa, berpacaran dan sering telanjang juga ditanggapi dengan: salahnya di mana.
Tulisan di dinding itu mengingatkan dan seolah melawan pemahaman postmodernis ini bahwa rasa sayang tidak harus diekspresikan dengan bebas sebebas-bebasnya. Sayang tidak harus telanjang lalu terjun bebas pada hubungan-hubungan yang belum waktunya dan belum dipastikan kesiapannya. Sayang juga tidak harus mengirimkan foto-foto telanjang kepada pasangan – seperti fenomena yang sangat marak zaman sekarang. Sayang bisa diungkapkan dengan lebih tenang dan dipikirkan.
Interpretasi berbedapun muncul di dalam pikiran saya, bahwa mungkin saja kata telanjang di situ mengandung sebuah makna kias. Bisa saja maksud kata telanjang adalah: habis tidak punya apa-apa, semuanya diambil. Kenyataannya, rasa sayang kita kepada sesuatu kerap kali membuat kita telanjang. Memberikan semua yang kita miliki kepada sesuatu atau seseorang yang kita sayang tanpa kita pikirkan dalam-dalam. Memberikan semua rahasia, daya upaya, bahkan seluruh air mata. Setelahnya? Istilah bucin (budak cinta) mendera. Jalanan bagi saya, selalu memiliki pesan.
Tetapi, bukan tentang hal itu saja kita akan berbicara. Jalanan adalah ruang seluas-luasnya bagi manusia, mulai dari ruang tempat perpindahan, mengekspresikan diri melalui karya, menyampaikan pesan, mengiklankan suatu produk atau jasa, menjadi ruang kerja bagi kapital juga bagi mereka yang dipinggirkan dunia karena hanya meminta atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap tidak bermakna dan hina. Jalanan merupakan ruang bagi masyarakat kelas menengah dengan segelas kopi kekinian di tangannya, tetapi juga ruang bagi mbok-mbok yang memanggul dagangan satenya di atas kepala. Jalanan juga merupakan tempat tidur bagi yang miskin dan papa, atau serupa arena persaingan bagi tukang-tukang parkir liar yang bergelut dengan mafianya.
Jalanan merupakan ruang yang riuh. Riuh dengan berbagai kemewahan yang ditawarkan. Namun juga riuh dengan berbagai rasa-rasa tawar yang dimewahkan. Riuh dengan perlawanan atas rasa sakit. Riuh dengan rasa sakit dengan pengabaian. Juga, banyak kemunafikan yang menjelma menjadi iklan-iklan produk, kampanye sosial, dan segala hal yang menggiurkan mata dan memaksa kita untuk membeli dan mengonsumsi apa-apa yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Jalanan juga merupa sebuah ruang bagi seseorang berjuang demi nasibnya, nasib keluarganya, atau nasib banyak orang. Jalanan juga merupa ruang bagi banyak manusia menyampaikan ideologinya yang belum tentu benar.
Jalanan selalu asyik untuk dikeluhkan atas kemacetannya ditambah dengan narasi-narasi yang membahas tentang ibu-ibu sein kiri tetapi belok kanan. Pun, apa-apa yang terjadi di jalan selalu dapat membuat kita kritis: tentang pemerintah yang tidak memberikan jaminan hidup layak atau pemerintah yang terlalu lamban menangani infrastruktur, tentang anak-anak muda main Pokemon Go sampai tidak memperhatikan jalanan, tentang peradaban seniman jalanan yang memperindah tetapi intervensinya tidak kita pahami.
Hari ini kita mengeluhkan jalanan. Besoknya, kita kembali lagi ke jalanan yang berantakan itu. Paginya kita menghirup udaranya dan mengatakan siap menyambut hari. Siangnya kita berjalan mencapai rumah makan Padang terdekat atau berterima kasih atas perjuangan driver pengantar makanan kita di jalanan. Lalu sorenya kita kembali mengeluhkan hidup sambil berada di atas kendaraan pribadi, ojek online atau angkutan umum. Malam pun habis hingga tertidur untuk merenungkan siapa saja yang sudah kita maki-maki di jalan atau apa saja pesan-pesan yang kita lihat di jalan. Seberantakan-berantakannya jalan, kita kembali menelisiknya, kembali memahaminya, kembali mengambil pesan-pesannya. Lalu menyadari ada yang sedang berjuang, ada yang sedang mengerjakan kelayakannya, dan ada yang sedang menambal yang berlubang. Akhirnya kembali memahami bahwa jalanan dengan segala kehancuran dan keporakporandaannya merupakan ruang terindah untuk bertumbuh.
Jalanan merupakan salah satu ruang yang saya sayang. Kini jalanan menelanjangi saya. Membuat saya melihat diri sendiri yang serupa jalanan, di mana telah menjadi ruang yang menjadi tempat seluruh hal-hal berantakan tumbuh subur. Kemarahan yang tidak diselesaikan. Kekhawatiran yang dipupuk terus-menerus. Rasa rendah diri yang tidak diperjuangkan namun malah dialihkan. Kegagalan yang terus menerus diratapi. Rasa penasaran yang tidak dilogikakan. Pencapaian-pencapaian mustahil yang terus diinginkan dan tidak pernah direlakan. Permukaan perasaan yang luka namun dibiarkan menganga tanpa mencari pertolongan. Penuh kemunafikan berbalut tawa, canda, kebanggaan tanpa rasa rela untuk mengatakan bahwa:
“Saya sebenarnya tidak bisa menyenangkan kamu.”
“Saya hanya punya dua telinga.”
"Saya bukan customer care, tidak punya waktu 24 jam."
"Saya tidak mau kerjakan ini, karena saya tidak ingin."
"Saya tidak apa-apa dengan ukuran badan segini dan tidak mau menjadikan keinginanmu sebagai ukuran cantik."
"Saya lelah dan butuh istirahat."
"Ini bukan tentang kerelaan memikul salib, tetapi saya juga punya limitasi."
“Saya bukan panti rehabilitasi atau dinas sosial untuk tampung kamu.”
“Saya cuma punya waktu di weekdays.”
Atau yang paling jarang saya relakan adalah untuk mengatakan “Saya sedang tidak baik-baik saja.”
Seberantakan jalanan, semunafik-munafiknya ia, sepantas-pantasnya dikeluhkan, diri kita juga demikian. Namun ke mana lagi kita kembali, kalau bukan kembali lagi ke dalam diri. Dalam diri kitalah terdapat kekuatan yang dianugerahkan Tuhan. Diri kitalah yang dipandang baik oleh Tuhan. Ke mana lagi kah kita mencari pertumbuhan? Diri kitalah yang terus dipeliharaNya. Ia menanti kita kembali, memahami kegagalan, memafkaannya, menyediakan waktu untuk dihajar, dibentuk, dipulihkan, dan tumbuh sebagai manusia yang sehat dan sesuai citraNya.
Seperti jalanan. Kita semua berantakan.
Seperti jalanan juga. Kita semua indah.
Seperti jalanan juga, kita semua sedang dikerjakan, dan diberikan kesempatan untuk bertumbuh dan sembuh.
Berjalanlah di jalanan, di dalam diri, sampai jauh.
Sampai mengerti bahwa keindahan itu terus diperjuangkan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: