Apakah kehidupan jomblo adalah sebuah ke-abnormal-an dalam sebuah tatanan kehidupan sosial sehingga mau tidak mau orang harus (segera) mencari pasangan?
Istilah ‘jomblo’ mungkin tidak lagi asing di telinga kita. Istilah itu diambil dari istilah bahasa sunda ‘jomlo’ tanpa ‘b’ yang merujuk pada ibu tua yang belum menikah sejak muda. Istilah ‘jomlo’ sekarang kebanyakan disebut dan ditulis menjadi ‘jomblo’ mungkin karena mengikuti pelafalannya. Jomblo kini menjadi istilah umum untuk menyebut bagi seseorang pria atau perempuan yang melajang atau selibat. Sayangnya, kata ‘jomblo’ bergeser menjadi makna ejekan bagi seseorang yang melajang, dianggap tidak laku, dan pada akhirnya mendorong mereka untuk cepat mencari pasangan.
Photo by Noah Silliman on Unsplash
Pertanyaan yang terlintas adalah apakah menjadi seorang jomblo adalah sebuah ke-abnormal-an dalam sebuah tatanan kehidupan sosial, sehingga mau tidak mau orang harus (segera) mencari pasangan? Apakah memang seorang jomblo sudah pasti tidak bahagia dalam hidupnya sehingga pacaran atau menikah adalah jalan satu-satunya kebahagiaan? Pertanyaan lebay-nya adalah apakah memang hidup jomblo adalah kehidupan tragis seseorang karena tidak punya pasangan?
Mari kita konstruksi ulang mengenai hidup jomblo atau melajang. Hal utama yang perlu disadari adalah menikah bukanlah satu-satunya panggilan dalam hidup seseorang dan bukan satu-satunya sebuah tujuan hidup semua orang. Dalam Injil Matius 19:12, Yesus berkata “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.”
Penafsir William Barclay menolong kita untuk mengerti apa maksud perkataan Yesus. Tiga tipe orang yang tidak menikah itu adalah:
-Pertama, orang yang tidak dapat menikah dari lahir; merujuk pada orang yang lahir dengan kekurangan pada bagian tubuhnya sehingga tidak dapat menikah.
-Kedua, orang yang tidak menikah karena dijadikan demikian oleh orang lain - merujuk pada kasim, yaitu pelayan-pelayan istana raja atau pelayan pria bagi istri-istri pejabat yang harus dikebiri sehingga tidak bisa merayu gundik raja atau istri-istri pejabat.
-Ketiga, orang yang sadar akan panggilannya untuk hidup selibat demi Kerajaan Allah.
Photo by Priscilla du Preez on Unsplash
Selibat demi Kerajaan Allah dipertegas kembali oleh Paulus dalam suratnya di I Korintus 7:7 tulisnya, “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang yang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku…”
Rasul Paulus tidak anti terhadap pernikahan. Ia justru mengawali surat di pasal ini dengan membahas kehidupan pernikahan sehat yang harus dibangun di kehidupan jemaat Korintus. Paulus mengingatkan bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya panggilan hidup semua orang, tetapi ada panggilan untuk hidup selibat. Hal itu merupakan sesuatu yang baik sebab hidup selibat adalah sebuah karunia dari Allah, sama halnya dengan pernikahan.
Photo by Priscilla du Preez on Unsplash
Kehidupan selibat adalah sebuah panggilan khusus dengan tujuan khusus, yaitu untuk memuliakan nama Tuhan dengan totalitas kehidupannya. Fokusnya tidak terbagi untuk keluarga tetapi untuk mengerjakan secara totalitas karya panggilannya. Paulus menyebutnya dengan istilah “Memusatkan perhatian para perkara Tuhan” (I Kor 7:32). Bukan berarti juga jika orang menikah maka tidak bisa memusatkan pada perkara Tuhan. Tentu bisa, tetapi ada bagian panggilan lain yang harus dikerjakan yaitu pernikahannya. Di sinilah letak kekhususan hidup selibat, yaitu secara totalitas membaktikan hidup untuk Tuhan melalui pelayanan tertentu, misalnya di gereja, lembaga misi, atau ladang pekerjaan apapun dengan tujuan baik dan demi kepentingan orang lain.
Photo by Ben White on Unsplash
Mereka yang hidup selibat juga terpanggil untuk menguasai keinginan seksual dengan baik dan memiliki keyakinan hati untuk menjalaninya (I Kor 7:36-37). Karena itulah, proses untuk mengenali karunia selibat bukanlah proses satu dua hari melainkan proses yang panjang dan melelahkan. Tetapi pada akhirnya orang yang selibat akan menemukan kedamaian dalam batinnya.
Photo by Priscilla du Preez on Unsplash
Lalu bagaimana dengan kesepian yang dihadapi?
Bicara mengenai kesepian, ternyata setiap orang akan ada masanya mengalami kesepian, baik berpasangan atau selibat. Ada begitu banyak cara untuk menghadapi kesepian yang melanda, beberapa diantaranya adalah mencari tahu penyebab kesepian itu, mengolah pengalaman sepi itu ke arah yang lebih positif seperti berefleksi, membaca, quality time dengan sahabat-sahabat, dsb.
Maka pada akhirnya, menikahlah jika memang itu panggilan Anda, carilah pasangan yang baik dan cintailah dengan cinta Tuhan serta bangun kehidupan pernikahan yang kudus. Bagi yang belum punya pasangan, gumulilah panggilan hidup Anda kembali. Jika memang terpanggil menikah dan belum menemukan pasangan, berdoalah dan carilah dengan hikmat Tuhan. Jika panggilan Anda adalah hidup melajang, maka jalanilah karunia Tuhan itu dengan segenap hati.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: