Seni Membunuh Waktu

Best Regards, Live Through This, 16 May 2019
Zaman telah begitu berubah, seni membunuh waktu juga berubah. Namun ada yang tidak pernah berubah, yaitu kasih Allah dan pengampunanNya dalam ruang penantian kita.

Beberapa minggu yang lalu saya melihat seorang perempuan di kantin kampus, sepertinya ia adalah mahasiswi S3. Ia nampak baru menyelesaikan suatu kegiatan dan sedang menunggu kegiatan berikutnya. Mahasiswi itu membawa anak laki-lakinya. Sesekali mereka mengobrol dengan menggunakan bahasa bayi, dalam beberapa waktu si anak turun dari pangkuan ibunya dan bermain dengan teman saya yang sedang makan di depan meja saya. Si Ibu membiarkan dan tertawa melihat tingkah lucu anaknya.

Siang itu membawa saya pada ingatan masa lalu. Saya ikut kemanapun Ibu saya pergi. Dulu Ibu saya juga sering membawa saya kuliah, biasanya saya yang tukang tidur dari kecil ini menunggu Ibu saya sampai tertidur di vespa Bapak. Saya juga sering mengekor Ibu dan Bapak saya mengajar di kelas. Benar-benar di dalam kelas dan duduk di sebelah murid-murid mereka sampai kegiatan belajar mengajar selesai.

Ibu dan Bapak akan memberikan saya buku gambar dan crayon untuk menggambar atau kertas-kertas origami untuk membuat pesawat-pesawat kertas. Betapa menyenangkan menunggu sesuatu saat saya masih kecil dulu.

Photo by Li Wubin on Unsplash

Saya terus merenung, meminum es teh yang sudah hampir habis sambil memandangi si anak yang asyik berbicara dengan teman saya. Saya berpikir dan bertanya pada diri sendiri, kapan terakhir kali saya menikmati sebuah penantian penuh makna seperti si anak ini. Mengapa menunggu menjadi pekerjaan yang begitu sulit dan sangat membosankan. Mengapa menanti di zaman ini tidak seindah saat masa kecil. Padahal zaman ini nampak lebih mudah dan seru dengan kecanggihan yang nyata ada.

Zaman ini menawarkan segala pengalaman menunggu yang menyenangkan. Sebuah persegi canggih yang ada di genggaman kita saat ini menawarkan banyak hal. Kita bisa menunggu dosen di kampus sambil scrolling timeline twitter. Kita bisa menunggu driver ojek online datang sambil membuka aplikasi-aplikasi lain yang menyenangkan. Kita bisa menunggu seorang teman dengan membuka Instagram storiesteman-teman maya kita.

Kita bisa menunggu kelas berikutnya tiba dengan berperang dalam online games. Kita berbicara di whatsapp group sambil menunggu abang nasi goreng pinggir jalan selesai membuatkan pesanan kita. Kita bisa menonton banyak vlogs di youtube saat kita dalam perjalanan ke suatu tempat dengan kendaraan umum. Saat menanti kalimat “Baik saya akhiri kelas ini.” dari dosen, kini pilihannya tidak hanya pura-pura tidur, tetapi berselancar di internet, membaca apapun, menonton apapun, bermain apapun, melakukan hal-hal yang menyenangkan sambil membunuh waktu.

Photo by Rawpixel on Unsplash

Semua tampak menyenangkan dalam satu genggaman, tetapi jika ditelisik ulang, kegiatan kita dengan gawai untuk membunuh waktu tidak se-menyenangkan itu. Beberapa kicauan yang kita unggah adalah keluhan kita dalam menanti kemacetan, menyalahkan motor, menyalahkan mobil-mobil yang tidak tahu aturan, sampai akhirnya menyalahkan pemerintah.

Beberapa instagram stories yang kita tonton mengeluhkan pelayanan yang lamban di suatu café. Beberapa whatsapp group tempat kita berbicara sibuk menggosipkan dosen yang tak kunjung datang ke kelas atau tidak juga membalas e-mail dan mengembalikan revisi. Beberapa unggahan kita menampakkan betapa hype-nya kita dengan tempat nongkrong kita, dengan musik apa yang kita dengarkan, dengan makanan apa yang sedang kita makan, dengan apa-apa yang melekat namun sebenarnya fana. Beberapa berita yang kita baca adalah mengenai perceraian artis, perdebatan kubu-kubu politis yang tidak sehat, sekelumit berita yang belum tentu kebenarannya namun seolah bisa dipercaya, dan berjuta-juta hal tidak membangun lainnya. Kita tidak seberhasil itu membunuh waktu.

Perenunungan tentang membunuh waktu ini mengingatkan saya pada satu Ibu yang saya kenal di kereta api. Ia merupakan seorang Ibu yang ditinggal anaknya merantau dan suaminya sering bertugas ke luar kota. Si Ibu berkata “Saya senang naik kereta seperti ini, Mbak. Saya jadi bisa ngobrol-ngobrol, apalagi sama mahasiswa seperti Mbak ini, mengingatkan saya pada anak saya. Sekarang saya di rumah sendirian, paling cuma nonton TV.” Pengalaman yang tiba-tiba terlintas ini membuat saya bertanya, kapan terakhir kali kita mengajak orang asing berbincang di kereta api?

Photo by Chang Hsien on Unsplash

Kapan terakhir kali kita menanyakan sudah berapa pesanan yang dibuat oleh abang nasi goreng langganan saya hari ini? Kapan terakhir kita mengajak ngobrol driver ojek online sambil menunggu sampai tujuan? Kapan terakhir kali dengan inisiatif sendiri mengajak berbicara teman-teman yang belum pernah kita sapa seumur hidup kita?

Kapan terakhir kali menginisiasi sebuah rekonsiliasi dengan teman yang sudah lama tidak kita ajak bicara, sambil menanti dosen kita datang? Kapan terakhir kali kita memilih untuk mendengarkan teman yang rautnya muram dibanding menyapa teman-teman virtual kita? Kapan terakhir kali kita menghadirkan kehangatan, kasih Allah, dan pengampunan dari Tuhan di tengah penantian-penantian kita?

Berkali-kali kita merasa telah berhasil membunuh waktu dengan gawai kita, namun berkali-kali juga kita telah membunuh diri kita menjadi pribadi yang membunuh kehangatan yang seharusnya bisa kita bangun dalam sebuah penantian. Kita telah sibuk dengan genggaman dan mendiamkan suasana nyata yang seharusnya kita genggam. Kita tidak hanya membunuh waktu. Kita juga membunuh empati, membunuh kasih, dan membunuh suatu ruang pengampunan dalam sebuah ruang penantian.

Photo by Duy Pham on Unsplash

Akhirnya nasehat untuk jemaat di Efesus lah yang menjadi semangat bagi kita untuk membunuh waktu dengan tidak menjadi pembunuh sebuah kasih yang besar dari Allah :

Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.

Zaman telah berubah. Kini sedikit sekali anak-anak kecil yang menunggu sambil berlari-lari, mereka akan memanfaatkan gawai dari orang tuanya. Kini tidak ada lagi saya yang menunggu sambil melipat kertas origami atau menggambar. Zaman telah begitu berubah, seni membunuh waktu juga berubah. Namun ada yang tidak pernah berubah, yaitu kasih Allah dan pengampunanNya dalam ruang penantian kita. Gawai mungkin bisa menghadirkan seni membunuh waktu yang menyenangkan, namun seni membunuh waktu bersama Allah merupakan tawaran yang tidak lekang oleh zaman.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER