Jika kasih menjadi titik berangkat dan relasi menjadi tujuannya, maka intuisi menjadi salah satu sarana berkendaranya.
Rasanya mudah sekali melihat bagaimana manusia masa kini telah bersikap lebih dingin terhadap relasi antara sesamanya. Gagasan untuk memiliki sebuah relasi yang sehat tampaknya semakin terpinggirkan dengan sifat keakuan manusia itu sendiri. Alih - alih menerima satu sama lain dengan tujuan membangun relasi dan mentransformasi diri, kebanyakan dari kita justru bertindak ingin menguasai hidup sesamanya. Bahkan, dengan dalih ingin memelihara relasi, tidak sedikit dari kita yang justru kehilangan dirinya sendiri (berpura- pura dan tidak menjadi diri sendiri agar dapat diterima orang lain atau lingkungannya). Sifat seperti inilah yang membuat manusia menjadi pribadi yang tidak utuh.
Sejatinya, manusia disebut utuh ketika ia menjadi dirinya sendiri: autentik. Meski nyatanya, menjadi autentik tidaklah mudah untuk dicapai. Manusia tidak dapat menjadi utuh dengan sendirinya. Manusia butuh berelasi (bahkan relasi karib); baik dengan sesama, terlebih dengan Sang Pencipta.
Salah satu bentuk tindakan kasih Allah dalam relasi antar manusia dinyatakan dengan menghadirkan sesama sebagai penolong dalam kehidupan manusia. Kita memang dikelilingi dengan banyak pribadi yang tak terhitung jumlahnya, tapi dengan mudahnya kita dapat menghitung mereka ‘yang terpilih’ dan ditempatkan untuk menjadi bagian dalam hidup kita, menemani perjalanan hidup kita. Meski ada masa untuk menjadi yang tertolong, tapi berkat kemurahan Tuhan, kita diizinkan juga untuk sesekali waktu berperan sebagai penolong.
Kebutuhan manusia akan pribadi lain telah menunjukkan betapa rapuhnya manusia dan betapa ia butuh ditolong dan dilengkapi dengan sesamanya. Jika Allah yang dengan murah hati telah berinisiatif memberikan penolong kepada kita melalui relasi yang karib dengan sesama, bukankah dengan dasar kasih dari Sang Pemberi tersebutlah kita juga seharusnya membangun relasi?
Aristoteles memandang relasi karib sebagai sesuatu yang luhur (virtue) dan sebagai sebuah hubungan yang terarah kepada semua kebaikan, termasuk dalam mengusahakan hal - hal yang berguna dan menyenangkan bagi sahabatnya. Bahkan untuk melengkapi pandangan tersebut, Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis, memiliki teori bahwa tujuan dari relasi yang karib (hubungan persahabatan) adalah untuk transformasi diri. Kedua pernyataan tersebut jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah relasi karib dapat memberi dampak bagi seseorang. Tentunya baik atau buruknya dampak yang ditimbulkan akan bergantung kepada dasar apa yang kita gunakan untuk membangun relasi tersebut.
Dalam perjalanannya, tidaklah mudah untuk menemukan sahabat karib. Banyak dari kita yang mungkin pernah jatuh dalam relasi karib yang salah, relasi yang tidak terarah pada semua kebaikan, meski kita menganggap relasi tersebut telah didasari oleh kasih. Pertanyaannya, kasih yang seperti apa? Kasih yang bersumber dari mana?
Craig L. Blomberg dalam bukunya “Jesus and The Gospels” menjelaskan bagaimana kasih menjadi dasar dari dua relasi yang dinyatakan dalam keseluruhan Injil Yohanes, yaitu relasi Yesus dalam Allah Tritunggal dan relasi Yesus dengan murid- murid-Nya. Mari kita pelajari lebih lanjut.
Pertama, kasih menjadi dasar hubungan antara Allah Tritunggal dengan Yesus.
Dasar dari iman Kristen adalah percaya kepada Allah yang memiliki satu hakikat yang terdiri dari tiga substansi (pribadi). Ketiga substansi tersebut bergerak dalam satu lingkaran kasih dari Bapa kepada Anak melalui Roh dan Anak kepada Bapa melalui Roh yang satu dan sama itu. Dan karena adanya lingkaran kasih di dalam ketiganya (perichoresis), maka demikianlah disebut “Allah adalah Kasih” (1 Yoh. 4). Perwujudan kasih tersebut kemudian dinyatakan melalui inkarnasi Yesus untuk menunjukkan relasi-Nya dengan manusia (Yoh. 3:16).
Kedua, kasih menjadi dasar hubungan antara Yesus dengan murid- murid-Nya.
Secara dramatis, Yesus menjadi seperti seorang hamba yang mencuci kaki tuannya tatkala Ia membasuh kaki murid- murid-Nya (Yoh. 13). Sikap Yesus ini merupakan tanda cinta yang mendalam terhadap murid- murid- Nya dan merupakan pesan bahwa sebagai murid Yesus, mereka harus mengikuti teladan- Nya untuk saling membasuh kaki (melayani) dengan kerendahan hati. Dengan demikian, tentunya tidak mengherankan jika selanjutnya prinsip dasar “kasih” akan menuntun kita kepada konsep etika yang harus dimiliki seorang Kristen dalam berelasi. Seseorang harus mengalami kasih Allah terlebih dahulu, agar ia dapat memberikan kasihnya terhadap orang lain. Faktanya, tidak mudah untuk dapat mengalami Kasih itu, perlu perubahan dan penundukan diri dari sifat dan natur manusia itu sendiri.
Sampai disini kita dapat melihat bahwa kasih, relasi, dan transformasi diri adalah tiga hal yang saling terkait. Kasih menjadi dasar membangun relasi, kemudian relasi menjadi sarana untuk transformasi diri. Jadi, jika kasih telah menjadi dasarnya, bagaimana kita dapat menemukan relasi karib yang tepat?
Intuisi menjadi salah satu sarana yang Allah berikan untuk membantu mengarahkan dan menentukan, pribadi mana yang akan Allah hadirkan dalam kehidupan kita. Intuisi didefinisikan sebagai bentuk pengetahuan yang muncul dari hasil pikiran bawah sadar manusia yang dengan cepat menyaring pengalaman masa lalu dan pengetahuan kumulatif.
Banyak dari kita yang meremehkan intuisi; mengabaikannya dan menganggap intuisi hanya sebagai perasaan ‘baper’ yang sedang dialami karena suatu kondisi. Hal ini tidak sepenuhnya salah; terkadang mungkin benar. Namun, kita sering tidak menyadari bahwa sejatinya intuisi bisa menjadi salah satu sarana yang Allah berikan untuk menyatakan kehendak-Nya dalam relasi antar sesama. Intuisi muncul secara holistik, cepat dan sering tidak disadari. Itulah mengapa, seringkali intuisi terwujud dalam gerak hati yang seketika bisa memberi sinyal kecocokan dengan orang tertentu.
Intuisi tidak serta-merta dapat diterima sepenuhnya, sebab relasi dengan Allah menjadi faktor utama dalam menentukan fungsi dari intuisi tersebut. Jadi, apakah intuisi bisa salah? Ya. Tentu saja. Oleh sebab itu, intuisi butuh diuji; dengan waktu atau informasi dan fakta lain. Faktor relasi dengan Allah tersebut dapat dimulai dengan kesadaran dan penerimaan akan kasih-Nya terlebih dulu. Ketika kita menerima dan menghidupi kasih-Nya dalam keseharian kita, maka hal ini akan mempengaruhi alam bawah sadar kita dan akan membuat intuisi kita “terbiasa” dengan semua kebaikan dan kasih Allah. Dengan demikian, intuisi akan seketika itu menolak ketika ada hal yang tidak presisi dengan diri kita. Inilah peran yang diberikan oleh intuisi dalam “memilih” pribadi tertentu sebagai sahabat karib kita.
Mari kita renungkan sejenak. Apakah intuisi telah menuntunmu pada sahabat karib yang diperkenan oleh Allah? Dan apakah relasi karib yang kamu miliki menuntun kepada semua kebaikan yang berdasar dan tertuju kepada Allah?
Selamat membangun relasi melalui intuisi!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: