'Cause I try and try Just to fall back down again And I ask myself why Do I try to chase the wind? I should lean into the mystery Maybe hope is found in a melody So I wanna try again Oh, I'm gonna try again Dear God - Cory Asbury
Suatu pagi di hari Minggu, saya sedang duduk di halaman depan gereja dan menunggu jemputan. Saya bisa melihat beberapa anak sekolah minggu masih berkeliaran di halaman dengan orang tua masing-masing.
Seperti biasa, mereka menceritakan kegiatan mereka di sekolah minggu. Mulai dari baju yang dikenakan teman-temannya, mainan apa yang diam-diam mereka bawa, atau hadiah apa yang mereka dapatkan karena bisa menjawab pertanyaan kakak sekolah minggu dengan benar.
Saya memperhatikan seorang anak kecil yang berada tidak jauh dari saya. Ia sedang duduk bersama neneknya yang duduk di kursi roda. Seperti yang sudah saya duga, ia juga bercerita tentang pengalamannya hari itu.
“Nek, kata kakak sekolah minggu, kita harus jadi garam dan terang,” ujarnya. Neneknya hanya tersenyum dan mengangguk-angguk, sepertinya sudah terlalu lelah untuk berbicara tapi masih menanggapi anak kecil itu dengan kasih sayang.
“Tapi, Nek,” tambahnya setengah berbisik, “jangan bilang sama kakak sekolah minggu kalau aku sudah berhasil jadi garam.”
Tentu saja ini membuat saya heran. Sudah jadi garam? Maksudnya?
Sepertinya neneknya juga memikirkan hal yang sama, karena dengan muka yang bertanya-tanya beliau bertanya, “Oh, ya? Kok, bisa?”
Anak itu melihat sekeliling, takut rahasianya akan terbongkar, lalu menjawab, “Tadi Billy gak sengaja makan ingus Billy, dan ternyata asin. Makanya Billy udah jadi garam.”
... sedangkan saya jijik membayangkan dia makan ingus. Ew.
Photo by Marcos Paulo Prado on Unsplash
Saya juga sering mendengar hal yang sama (bukan soal ingus). Mulai dari orang tua, pendeta, sampai kakak pembimbing mengatakan bahwa kita harus menjadi garam dan terang (seperti yang sudah Tuhan Yesus sampaikan dalam Matius 5:13-16). Seakan-akan sudah ada tulisan besar di jidat kita bahwa garam dan terang adalah jati diri kita. Sekilas, saya menangkap kalau hidup kita adalah untuk menjadi garam dan terang, dan mati juga menjadi garam dan terang. Padahal bukannya kita mati menjadi debu dan tanah, ya?
Setiap hari, kita selalu berpikir bagaimana menjadi garam dan terang ini. Beberapa orang menerapkannya sebagai para pelayan ibadah di gereja, persekutuan, bahkan menjadi pendeta. Namun, ada juga orang-orang yang tidak mengambil pelayanan, tetapi menjaga hidupnya untuk turut akan kehendak Tuhan. Semua melakukan yang terbaik, tetapi di saat yang bersamaan, setan juga bekerja untuk menghentikan aktivitas rohani ini. Akibatnya, melakukan kehendak Tuhan menjadi lebih berat daripada tidak melakukannya. Mungkin ada di antara kita lyang ebih sering gagal daripada sukses. Hasilnya? Banyak yang menyerah di tengah jalan, atau bahkan tidak berbuat apa-apa untuk mengubah situasi rohaninya.
Dear God
I've been trying awful hard to make You proud of me
But it seems
The harder that I try, all the harder it becomes
And I feel like giving up
Most of the time
Ironisnya lagi, ada oknum-oknum yang melayani dengan tujuan terselubung; mereka (atau mungkin kita juga di dalamnya) melayani hanya sebatas mencari ketenaran dan kepuasan diri semata. Bukannya memuliakan Tuhan, kita justru memuliakan diri sendiri. Benar sih, kita membutuhkan penerimaan dari orang lain sebagai support untuk menghadapi tantangan hidup lainnya. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi sejak kecil dari keluarga (khususnya orang tua), kita akan cenderung mencari pemenuhannya dari lingkungan kita, termasuk di tempat pelayanan. Disadari atau tidak, hal ini menjadi beban pikiran yang sulit hilang karena tidak ada solusinya, ditambah lagi peperangan antara mengikuti kehendak Tuhan dengan godaan iblis juga semakin besar.
Dear God
I've been chasing their approval and it's killin' me
And I know
The more I try to prove
All the less I have to show
And I'm stuck inside my head
Most of the time
Tentunya, kita tidak mau menyerah begitu saja. Kita terus berdoa, membaca firman, berpuasa, berdoa, membaca firman, memuji Tuhan dengan puji-pujian, berdoa, membaca firman, puasa, berdoa lagi... sampai kadang-kadang terselip pertanyaan-pertanyaan seperti, “Sudah cukup belum, ya?”, “Sudah bisa jadi garam dan terang belum, ya?”
But if I pray a little harder
If I follow all the rules
I wonder, could I ever be enough?
Padahal kita tahu jawabannya. Jika Tuhan dapat menjawab kita langsung, bukankah Ia akan berkata demikian:
And dear child
I hope you know how much I love you and I'm proud of you
And please believe
The thoughts I have for you will never change or fade away
And when you felt like giving up
I never did
'Cause I'm not scared of imperfections
Or the questions in your head
Just know that you have always been enough
'Cause you tried and you tried
And I saw you wrestle with
Every how, every why
I was right there listening
So just fall into the mystery
And I'll meet you here in the melody
Try, just to try again
Oh, child would you try again?
My child, you can love again
Apakah kau akan mencoba bangkit kembali? Atau sudah puaskah kamu hanya dengan menjadi ingus yang asin....?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: