Konflik melanda berbagai belahan dunia saat ini. Konflik Israel-Palestina, Konflik politik Sudan, konflik etnis Rohingya, konflik Yaman, konflik agama dan politik di Sri Lanka, hingga yang terbaru, konflik pasca-Pemilu di negeri kita sendiri.
Roma 8:14 "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang."
Hari ini, kita dipertontokan dengan sikap dan perilaku manusia yang saling bertikai. Pertikaian-pertikaian di sekitar kita berujung pada konflik baik dalam skala kecil maupun skala masif. Jika dilihat pada lanskap yang lebih global, konflik melanda berbagai belahan dunia saat ini. Konflik Israel-Palestina, Konflik politik Sudan, konflik etnis Rohingya, konflik Yaman, konflik agama dan politik di Sri Lanka, hingga yang terbaru, konflik pasca-Pemilu di negeri kita sendiri. Jika ditarik benang merahnya, semua berakar pada kejahatan dan keangkuhan manusia.
Manusia (homo sapiens), termasuk spesies primata dari golongan mamalia. Yang membedakan manusia dengan primata lain adalah kemampuan otak yang sangat tinggi. Kemampuan otak ini ditunjang dengan kepemilikan jiwa dan rasa, sehingga berujung pada terbentuknya hati nurani. Hati nurani menjadi alat kontrol dari naluri manusia dalam mempertahankan hidupnya. Dalam antropologi budaya, manusia mempunyai bahasa, mampu mengorganisasi, dan dapat mengembangkan sebuah teknologi.
Sejarah yang dibangun oleh umat manusia sejak pertama kalinya manusia hidup hingga detik ini tidak lepas dari banyak sekali peristiwa berdarah sebagai awal mula konflik. Jika ditarik pada peristiwa sejarah-teologis, ketika Kain membunuh Habel karena merasa iri oleh karena persembahannya ditolak oleh Allah, berbanding terbalik dengan Habel yang persembahannya diterima (Kejadian 4).
Manusia sejatinya mempunyai sifat jahat yang melekat pada dirinya. Sifat jahat akan muncul manakala manusia merasa rugi, direndahkan, dan iri hati. Rantai kejahatan tidak akan putus ketika kejahatan dibalas dengan kejahatan. Kejahatan menjadi belenggu yang memporak-porandakan tatanan dunia. Jadi, bagaimana kita sebagai umat Kristen dapat ikut andil dalam mencegah makin rusak dan gelapnya dunia oleh karena kejahatan manusia?
Kejahatan tidak akan berakhir manakala semua perbuatan yang jahat dibalas juga dengan perbuatan jahat. Membunuh, dibalas dengan membunuh. Menghina, dibalas dengan menghina. Teror dibalas dengan teror. Salah satu kutipan menarik dari Mahatma Gandhi adalah ‘Ketika mata dibalas dengan mata, maka dunia menjadi buta’. Buta, tidak dapat melihat, semua menjadi gelap. Itulah gambaran bagaimana kegelapan menyelimuti dunia hari ini, oleh sikap manusia yang tidak lebih sering berbuat baik. Kedamaian yang menjadi idealisme tatanan dunia pada akhirnya hanya menjadi sebuah ‘seharusnya’, bukan realita.
Yesus, sepanjang karyaNya selama 33 tahun di tanah Yerusalem, hadir dengan sebuah kedamaian. Di tengah belenggu penjajahan Kerajaan Romawi dan tatanan hidup Yahudi, kehadiran Yesus memberikan sebuah oase kedamaian di tengah kekejaman dan penindasan terhadap Yerusalem. Dalam sebuah perstiwa ketika Yesus berada di Bait Allah, datanglah ahli Taurat, membawa seorang perempuan berzinah kepadaNya. Ahli Taurat mengatakan dalam Yohanes 8:4 “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam Hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan yang demikian. Apakah pendapatMu?”. Dalam pemahaman dunia, sudah pasti perempuan ini pantas untuk dirajam karena berbuat zina merupakan perbuatan paling hina dalam tradisi Yahudi. Namun, Yesus menjawab Ahli Taurat itu demikian “Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu itu kepada perempuan”. Setelah orang-orang mendengar hal itu, pergilah mereka satu persatu. Yesus pun berkata kepada perempuan itu “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang”. Inilah yang ingin ditekankan Yesus kepada kita, bahwa seburuk-buruknya orang melakukan dosa atau kejahatan, tak pantaslah kita untuk membalas kejahatan tersebut. Mari kita berkaca pada diri kita masing-masing, sebagai manusia layakkah kita menghakimi dan membalas kejahatan dengan kejahatan? Bukankah kita pun tidak kebal terhadap dosa?
Dalam Roma 8:17 dikatakan “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang.” Hal ini selaras dengan ayat 14 yaitu “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk”. Jelas sudah. Inti dari Kekristenan yaitu mengasihi. Kita semua diajarkan untuk mengasihi musuh, bahkan mendoakan siapapun yang menganiaya kita. Sebuah ajaran yang berseberangan dengan sifat dunia saat ini. Ajaran untuk mengasihi dan mengampuni musuh menjadi ajaran konkrit bagi kita untuk andil dalam upaya memutus rantai sifat jahat dunia saat ini. Sulit? Ya. Tentu sulit untuk mengasihi orang yang berbuat jahat pada kita. Tapi, Yesus mengajarkan itu, dan Ia telah melakukannya dengan menderita, disalib, dan taat sampai mati untuk menebus dosa-dosa manusia. Itulah pengorbanan dan cinta kasih terbesar dari Dia; mengampuni kejahatan manusia.
Kasih; mengampuni, rela berkorban, saling menghormati, tolong-menolong, memaafkan, tidak menyimpan dendam. Semua hal baik dapat dirangkum dalam satu kata, kasih. Bila manusia bisa menerapkan kasih, analogi “Mata ganti mata, dunia menjadi buta” tidak lagi berlaku. Kasih menjadi lilin yang menyinari kegelapan dunia yang penuh dengan sifat iri hati, kejahatan, dusta dan dendam. Dia sudah memberikan contoh untuk berbuat kasih, jadi, sebagai muridNya, bukankah kita harus hidup dalam kasih dan menjadi lilin untuk menerangi dunia ?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: