“Bangunlah. Pergilah ke tempat kerjamu, ladang pelayananmu, keluargamu, teman bermainmu, tempat yang penuh tantangan itu. Beritakanlah Injil Tuhan pada mereka!” Dengan enggan, aku justru pergi; aku memilih kabur dan bersikap apatis.
Walaupun aku tahu kebenaran Injil, aku memilih untuk meninggalkannya dan mencari kesenangan lain bersama teman-temanku. Aku memilih menjadi Kristen yang menutup mata untuk segala hal berbau ‘Penginjilan’ dan aku memilih ritual agamawi. Aku berharap bahwa kekristenanku sebisa mungkin tidak bersinggungan, bahkan membangun keintiman dengan orang lain.
Photo by ZSun Fu on Unsplash
Setiap kali berangkat menuju ladang pekerjaan atau pelayananku, aku seringkali marah pada keadaan di sekitarku. Entah itu di tempat bekerja atau tempat belajar, entah di jalanan, atau bahkan di tempat aku melayani Tuhan, isi hatiku selalu penuh dengan dengki,
“Mengapa pengendara di kota ini semakin liar?”
“Mengapa teman-teman lain cuek, sementara aku yang kerja benar selalu dimarahi?”
“Mengapa aku yang paling rajin pelayanan dan orang lain lebih sering menimpakan semua tanggung jawab kepadaku?”
Hidupku dipenuhi dengan pertanyaan mengapa dan mengapa. Kalau begini lebih baik aku jadi orang yang pura-pura tidak tahu saja, orang lain toh takkan menuntut apa-apa dariku. Kalau seperti ini, aku lebih baik ikut cuek saja dengan orang lain. Rasanya lebih enak dengan bersikap tidak memusingkan diri untuk berpikir menjadi ‘orang baik’.
Sayangnya, hati kecil ini seringkali berkata sebaliknya. Hati kecil ini menahanku untuk berkata tidak pada semua tindakan baik. Meskipun aku berusaha menjadi cuek, hati kecilku memintaku untuk peduli. Kalau aku berusaha keras untuk bertindak semaunya, hati kecilku memperhadapkanku dengan perasaan bersalah. Ini seperti sebuah hukuman ketika aku berusaha bersikap acuh. Aku berusaha menjauhi gesekan dengan orang lain, tetapi aku justru makin sering bergesekan dengan orang lain. Perasaanku seperti sebuah badai besar yang memaksa diriku untuk tenggelam ke dalamnya dan meredakan badai pergolakan dalam hidupku.
Photo by Ben White on Unsplash
Aku berkaca dari Yunus. Ketika aku tenggelam dalam rasa bersalahku, ikan besar menelanku. Di dalam perut ikan itu, aku terpaksa berdoa pada Tuhan. Perut ikan itu adalah kamar doaku. Aku terkurung hanya berdua dengan Tuhan di sana, berhadapan muka dengan-Nya. Di dalam perut ikan besar itu aku mulai sadar mengapa aku berusaha lari dari Tuhan.
“Mengapa kamu berusaha lari dari-Ku?”
“Tuhan, aku ngga bisa mengubah kondisi di sekitarku. Aku selalu dipersalahkan atas segala sesuatu yang aku kerjakan. Bagaimana kalau nanti aku gagal? Bagaimana kalau aku dipermalukan? Bagaimana kalau orang lain menghakimiku? Bagaimana kalau orang lain menolakku ketika aku menceritakan tentang-Mu pada mereka? Nilai-nilai kekristenan tidak bisa diterima oleh dunia, Tuhan! Ini ngga adil buat aku, Tuhan. Mereka semua bersalah, biarkan hukuman Tuhan turun atas mereka!!!”
Sesaat Tuhan diam. Ia tidak menjawabku dengan segala kebijaksanaan yang selalu Ia sampaikan lewat bibir pendeta-pendeta dan penatua-penatua atau pemimpin dalam hidupku. Tuhan bungkam. Itulah kenapa aku enggan untuk melakukan perintah-Nya, untuk pergi dan memberitakan Injil ke Niniwe: tempat kerjaku, lahan pelayananku, atau teman-teman bermainku. Aku selalu takut mereka tidak bisa menerima nilai kekristenan dan aku memilih untuk membicarakan obrolan ringan. Aku takut mereka mengatakan aku sok suci dan pembicaraanku terlalu berat bagi mereka.
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Suatu kali untuk mengobati rasa jenuhku pada pekerjaan dan pelayananku, Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan seorang kawan lawan jenis yang sangat cocok denganku. Kami sama-sama suka membicarakan hal yang menyenangkan dan menikmati kuliner bersama. Kami sangat cocok berbicara soal pelayanan. Ia mengerti pergumulan dalam pekerjaanku. Saat aku ingin menyatakan perasaanku padanya, ia memilih berpacaran dengan orang lain. Dan aku? Aku patah hati. Aku marah pada Tuhan karena Ia mengambil apa yang berharga dari padaku.
Kali ini aku diam. Aku marah sekali pada Tuhan. Aku selalu merasa Tuhan tidak pernah adil padaku. Tuhan selalu seperti itu, lalu kudengar suara-Nya lembut memanggilku, “Layakkah engkau marah?”Aku diam dan aku memilih tidak menjawab-Nya seperti yang selalu Ia lakukan padaku.
Aku hanya menjawab-Nya, “Lebih baiklah aku mati dari pada hidup.”
“Layakkah engkau marah karena pujaan hatimu itu?”
“Selayaknyalah aku marah sampai mati.”
“Engkau sayang kepada anak itu, yang baru kamu kenal. Anak yang tidak kaubesarkan dengan tanganmu sendiri. Aku yang melakukannya. Aku yang membesarkan dan merawatnya. Mengapa kau sayang pada orang yang muncul sejenak dalam hidupmu yang kemudian hilang dalam waktu singkat juga?”
“Benar. Selayaknya aku marah pada-Mu karena aku sangat sayang dia!”
“Kalau begitu, jawab Aku. Bagaimana aku tidak sayang pada teman-temanmu, pada keluargamu, pada orang-orang di sekitarmu. Kamu mengenalku tapi tidak semua dari mereka mengenal-Ku sama sepertimu. Kamu kenal Aku, bahwa aku kerapkali tidak menjawab pertanyaanmu karena kamu tahu sendiri apa jawaban-Ku. Kau begitu mengenal-Ku sehingga bagimu marah pada Tuhan Semesta Alam adalah hal sepele. Namun, mereka tidak kenal Aku, tidak maukah kamu memperkenalkan Aku pada mereka?”
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
“Kalau begitu, jawab Aku. Bagaimana aku tidak sayang pada teman-temanmu, pada keluargamu, pada orang-orang di sekitarmu. Kamu mengenalku tapi tidak semua dari mereka mengenal-Ku sama sepertimu. Kamu kenal Aku, bahwa aku kerapkali tidak menjawab pertanyaanmu karena kamu tahu sendiri apa jawaban-Ku. Kau begitu mengenal-Ku sehingga bagimu marah pada Tuhan Semesta Alam adalah hal sepele. Namun, mereka tidak kenal Aku, tidak maukah kamu memperkenalkan Aku pada mereka?”
Tuhan akan tetap berjuang bagi anak-anak-Nya melalui diriku. Mulai hari ini aku mengerti dan berhati-hati kalau aku lari lagi dari panggilanku pada-Nya. Ikan besar akan menelanku lagi dan aku akan berhadapan muka dengan-Nya, lalu Ia menceritakan isi hati-Nya.
Tuhan kembali berbisik padaku, “Jangan bertindak acuh pada orang yang membutuhkan bantuanmu. Jadilah orang Samaria yang baik hati, dan jangan jadi imam atau orang Lewi yang sibuk soal urusan agamawi tetapi kau mengacuhkan orang-orang di sekitarmu yang membutuhkan bantuan, untuk mengenal kasih Tuhan.”
Tuhan mencintai kita dengan sangat ceroboh. Ia mau disiksa dan mati di kayu salib demi menemukan kita yang terhilang. Ya, kadangkala aku memang berusaha acuh dan menutup mata untuk ini semua hingga hati nuraniku mulai mengeras. Namun, di dalam perut ikan besar itu, aku tak bisa membendung air mataku. Tuhan memang sungguh-sungguh mengasihiku.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: