Berlindung di balik topeng kesalehan beragama adalah salah satu cara yang dipakai masyarakat untuk menunjukkan bahwa kita “oke” dan “normal”
Beberapa bulan lalu, seorang temanku yang ateis bercerita bahwa dia dibesarkan di keluarga Katolik namun sudah berhenti jadi Katolik sejak SMP. Walaupun begitu, saat kuliah dia aktif terlibat di persekutuan mahasiswa Katolik untuk menjaga hubungan baik dengan sekitarnya. Di waktu lainnya, seorang temanku baru saja melepaskan jilbabnya dan berhenti sholat, walaupun saat di sekolah dia masih mengenakannya karena sudah menjadi kewajiban. Ketika mereka menceritakan pengalaman masing-masing, aku sedikit menertawakan diriku sendiri. Saat SMA, aku dipilih menjadi salah satu pengurus organisasi remaja di gerejaku, walaupun sebenarnya aku amat keberatan. Aku merasa ‘tidak enak’ bila mengecewakan orang tuaku yang taat dan juga kakakku yang menjadi ketua remaja periode sebelumnya. Tidak ada yang tahu bahwa di masa-masa itu aku mulai muak dengan gereja dan segala tetek bengeknya sebagai sebuah institusi. Beberapa bulan menjadi pengurus, aku menjadi seorang agnostik yang mengarah ke ateis, sebuah sudut pandang akan ketuhanan yang aku pegang selama beberapa tahun. Aku berhenti berdoa dan percaya kepada Tuhan, tapi aku merasa tidak enak meninggalkan tanggungjawabku, apalagi program komisi remaja periode itu sudah harus dijalankan. Apa kata orang-orang di gereja kepada keluargaku bila aku tiba-tiba mengaku sudah tidak beragama lagi?
Shutterstock.com
Ah, agama. Suatu hal yang dianggap begitu penting dalam konstruksi sosial Indonesia. Pew Research Center dalam surveinya di tahun 2015 menunjukkan bahwa 95% orang Indonesia menganggap agama amat penting dalam hidupnya, ketiga tertinggi di dunia setelah Etiopia dan Senegal. Wajar sekali memang jika manusia Indonesia berlomba-lomba menampilkan wajahnya yang paling saleh dalam interaksi sehari-hari. Kenapa aku langsung menyinggung soal agama di awal-awal? Karena agama adalah salah satu alat yang paling mudah digunakan manusia untuk menunjukkan semuanya “baik-baik saja.” Berlindung di balik topeng kesalehan beragama adalah salah satu cara yang dipakai masyarakat untuk menunjukkan bahwa kita “oke” dan “normal”, bahwa kita layak diterima oleh masyarakat yang serba terlihat “baik-baik saja”. Semacam sindrom lazim, menurutku.
Sindrom ini begitu mengerikan agaknya. Setidaknya buatku sendiri. Bila kulihat lagi ke belakang, pengalaman berpura-pura taat beragama selama bertahun-tahun memberikan begitu banyak pelajaran namun juga trauma. Trauma melihat serta mengalami institusi dan masyarakat yang berbondong-bondong memperlihatkan kesempurnaan dan kebaikan komunitasnya, yang menutup dengan rapi segala borok yang dianggap mengganggu penampakan luar. Trauma melihat kegagalanku bertahan memakai topeng terus-menerus selihai orang lain. Aku menjadi limbung, aku merasa masih butuh topeng untuk bisa survive dan terlihat normal seperti yang lain di lingkungan sekitar, namun aku juga sudah terlalu lelah memakainya.
Shutterstock.com
Sampai sekarang aku masih sering bertanya-tanya, mengapa kita semua begitu terobsesi tampil baik dalam berbagai setting sosial? Kenapa orang yang memperlihatkan luka kehidupannya dan berani terlihat “tidak normal” kadang dianggap begitu aneh? Mengapa dunia kita begitu sulit menerima bejana-bejana yang mau menunjukkan keretakannya dan malah memuji-muji gelas plastik yang rapuh? Salahkah bila aku merindukan kultur transparansi dan autentisitas hidup di masyarakat kita saat ini, termasuk di gereja? Kultur di mana semua bisa terbuka mengenai pergumulan masing-masing, tanpa perlu merasa takut dihakimi, dipandang aneh, dan dicap negatif di belakang punggung. Aku tidak tahu, banyak orang yang lebih kompeten untuk menjawabnya. Tapi aku telah tiba pada suatu kesimpulan bahwa, ketika aku merindukan kultur keterbukaan tumbuh disekitarku, termasuk di gereja, paling tidak aku harus memulainya dari diri sendiri. Masa-masa di mana aku jatuh dalam depresi berat (hingga rutin berpikir bunuh diri) beberapa tahun lalu mungkin salah satu cara Tuhan “membuka” pikiranku akan kerinduan untuk tampil autentik dengan segala luka yang aku miliki.
Aku belajar untuk memperbaiki hubunganku dengan Tuhan, untuk autentik dalam doa-doa kepada-Nya, untuk tidak bermanis kata belaka, karena toh Tuhan Maha Mengetahui isi hati setiap orang. Aku memberanikan diri untuk berkata ‘kotor’ dan marah dalam doaku ketika aku memang merasakan kondisi yang tidak kusukai. Namun aku juga belajar untuk melihat sisi lain, apa yang layak kusyukuri dalam hidup yang telah Tuhan anugerahkan, apa yang perlu kuperbaiki dari sikap hidupku yang salah. Aku belajar untuk berdamai dengan diriku sendiri, menyadari bahwa aku memang tidak akan sanggup mencapai standar normalitas yang berlaku di masyarakat, dan mengakui bahwa aku bukan orang yang “baik-baik saja.” Kenyataannya aku hanyalah seonggok sampah, dan kelegaan terasa ketika mengingat bahwa Tuhan terus menganggapku berharga.
Aku belajar untuk mengakui kondisi mentalku, permasalahan hidupku, dan sudut pandangku yang mungkin agak aneh mengenai berbagai hal (termasuk hal-hal yang berbau agamis) ke beberapa orang yang mau mendengarkan dan terlibat dalam pembicaraan yang dalam. Respon yang kudapat tidak semuanya sesuai harapanku, namun selalu ada kelegaan besar ketika aku berhasil menceritakan lukaku kepada orang lain. Aku sadar bahwa ketika pintu dialog yang sehat terbuka, masyarakat (dan terkhusus gereja sebagai komunitas orang percaya) sebenarnya bisa belajar untuk saling memahami luka masing-masing, lalu melangkah maju dan bahu-membahu untuk menopang kelemahan masing-masing.
Shutterstock.com
Sampai sekarang aku kadang masih memakai topeng untuk terlihat baik-baik saja dan menunggu momen-momen yang tepat untuk melepaskan topengku. Namun aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan terus berusaha transparan ketika Tuhan memberikan kesempatan dan waktu yang tepat untuk membasuh lukaku.
Akhirnya aku percaya bahwa gereja sebagai komunitas orang percaya adalah rumah bagi para pendosa, sudah selayaknya kita secara tulus mengakui segala kehancuran kita masing-masing dan mempersilakan Sang Tabib Agung merawat dan menyembuhkan kita.
Selamat belajar menjadi autentik :)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: